Sabtu, 20 April 2024


Produksi Cabai Surplus, Industri Malah Impor

18 Agu 2014, 10:24 WIBEditor : Julianto

Harga cabai di berbagai daerah sentra produksi sangat rendah jauh di bawah biaya produksi karena pihak industri lebih memilih cabai impor dari pada cabai produksi petani.

Harga cabai merah di berbagai sentra produksi di Jawa Timur terjun bebas di tingkat petani. Keadaan pasar ini membuat petani bermuram durja. Harga cabai merah kualitas satu (1) saja hanya dihargai Rp 3.500 per kg, sedangkan kualitas keduanya harganya jatuh lebih rendah lagi hingga tinggal Rp 2 ribu per kg.

Ketua Agribisnis Cabai Indonesia Provinsi Jawa Timur, Soekoco, mengatakan industri lebih memilih olahan cabai impor (pasta, cabai kering, dan cabai bubuk) karena harganya lebih murah dibandingkan produk lokal.

Harga cabai olahan impor hanya dibandrol 1,2 US$, sedangkan untuk cabai olahan lokal untuk proses produksinya saja sampai menghabiskan Rp 40-50 ribu. “Beda jauh sekali. Makanya banyak industri makanan, yang akhirnya mengurangi pembelian cabai olahan buatan lokal,” katanya.

Bila ketimpangan harga olahan cabai impor dan lokal itu terus berlanjut maka akan berpengaruh ke depannya. Sekarang dampaknya adalah harga cabai merah terjun bebas, nantinya akan berpengaruh kepada kualitas tanaman itu sendiri. “Akibat dari harga cabai yang turun drastis, petani jadi malas untuk membudidayakannya lagi. Didiamkan saja tidak dirawat sebagaimana mestinya. Pada akhirnya kualitas cabainya jadi buruk,” jelas Soekoco.

Padahal Kementerian Pertanian sudah berusaha agar petani mau menanam cabai dengan rekayasa teknologi terbaru. Upaya itu telah membuahkan hasil. Menteri Pertanian Suswono memprediksi hingga Agustus 2014 kebutuhan mencapai 577.500 ton untuk cabai besar. Sementara cabai rawit sebesar 502.300 ton sampai Agustus 2014. “Bahkan saya mengharapkan akan surplus seperti yang terjadi pada tahun 2013 yaitu total target produksi cabai sebesar 1,47 juta ton tetapi realisasinya jauh lebih besar, yaitu 1,72 juta ton. Produksi tersebut terdiri dari 1,03 juta ton cabai keriting dan cabai merah besar, serta 689 ribu ton cabai rawit hijau dan rawit merah,” jelasnya.

Inovasi budidaya dan teknologi yang diintroduksikan Kementerian Pertanian antara lain upaya yang dilakukan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang Bandung, yakni inovasi untuk mengatasi perubahan iklim saat ini. Salah satunya menyiapkan varietas cabai unggul seperti kencana dengan potensi hasil lebih dari 18,4 ton per hektar, serta mampu beradaptasi baik di dataran medium dan tahan genangan. Lalu ada teknologi yang bisa dimanfaatkan petani seperti mulsa plastik perak dan sistem penanaman dengan bedengan (20-30) cm di musim hujan, jaring atau shadding net, rumah plastik, penggunaan perangkap.

Kementerian Pertanian juga memberikan demplot kepada petani untuk membudidayakan tanaman cabai di musim hujan sebesar 500 meter persegi per kecamatan dengan melakukan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT). Beberapa upaya akselerasi pun dilakukan seperti pengembangan kawasan seluas 2.339 ha, pemasyarakatan benih cabai merah bermutu, SL-PHT cabai sebanyak 108 unit dan masih banyak lagi.

Bahayanya

Di balik kejadian jatuhnya harga cabai saat ini, menyimpan bahaya ekonomi mendatang. Ketua Umum Dewan Hortikultura, Benny Kusbini mengatakan jatuhnya harga cabai saat ini bila dibiarkan berlanjut maka dampaknya petani enggan menanam cabai dan nanti hasil akhirnya harga cabai menjadi mahal karena langka. “Kalau sudah seperti ini, harga cabai nanti bisa menembus hingga Rp 50 ribu per kg di akhir tahun,” katanya.

Memang industri makanan tidak seluruhnya menggunakan produk cabai olahan impor, melainkan menurunkan jumlah permintaannya. Untuk industri besar yang sudah bermitra dengan petani, mereka masih menggunakan cabai lokal. Tetapi untuk industri yang tidak bermitra dengan petani, langsung menggunakan produk impor. “Jadi ada pengurangan permintaan sebanyak 50% untuk cabai lokal,” katanya.

Bagaimana solusinya? Soekoco berpendapat di dalam Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang diatur hanya produk segar saja, tidak mengatur produk olahan. Dia merekomendasikan agar RIPH ini ditinjau kembali, yaitu dengan mengatur juga produk olahannya. “Industri menggunakan produk olahan impor karena tidak diatur di dalam RIPH. Itulah kuncinya mengapa produk cabai olahan impor melanglangbuana di Indonesia. Revisi peraturannya dengan menambahkan produk olahan agar masalah ini dapat diatasi.”

Soekoco yakin apabila produk olahan impor diatur, industri pengolahan makanan lokal akan lebih berkembang, terutama untuk produk olahan berbahan baku cabai. “Saya yakin, kalau diatur, 3 tahun yang akan datang produk olahan kita dapat lebih maju.”

Benny pun menambahkan bahwa perketat larangan mengenai produk segar dan olahan cabai impor merebak di Indonesia. “Antar kementerian yang bertanggungjawab mengenai impor hortikultura seharusnya dapat saling berpegang tangan. Harus terjalin koordinasi yang pas untuk menanggulangi masalah ini,” tegasnya.

Jadi solusi dari permasalahan harga cabai merah yang turun ini adalah dengan merevisi kembali Permentan No.47/2013 mengenai RIPH, di mana tidak hanya masalah impor produk segar saja yang diatur, melainkan produk olahannya pun harus diatur. Cla/Som

Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066

Editor : Julianto

BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018