Cabai kini menjadi komoditi yang mendapat sorotan tajam. Pasalnya, komoditi ini kerap membuat ‘pedas’ pemerintah karena harganya yang kerap melonjak sehingga menjadi salah satu pengerek laju inflasi. Karena itu pemerintah memantau terus perkembangan komoditi ini.
Dengan kebutuhan yang selalu meningkat tiap tahun. Tapi di sisi lain, pasokan tak selalu ada sepanjang bulan membuat harga cabai kerap bergejolak. Kondisi tersebut kemudian berimbas pada perekonomian nasional.
Dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2014 dari luas panen 126.790 ha, produksi cabai mencapai 1.061.428 ton. Dengan kebutuhan dalam negeri berkisar antara 720 ribu-840 ribu ton/tahun, Indonesia surplus cabai. Dengan kebutuhan yang hampir tetap sepanjang bulan, perlu adanya pengaturan pola produksi agar tidak tergantung musim.
Dirjen Hortikultura, Kementerian Pertanian, Spudnik Sudjono menilai, lonjakan harga cabai yang kerap terjadi karena ada kegagalan dalam mengatur tata niaga komoditi tersebut. Rantai tata niaga komoditi cabai saat ini terlalu panjang. Akibatnya, perbedaan harga antara di tingkat petani, pedagang dan konsumen sangat tinggi.
“Pertanyaannya produknya ada, tapi mengapa harganya di konsumen menjadi mahal,” ujarnya saat operasi pasar cabai di Jakarta, beberapa waktu lalu. Karena itu pemerintah berusaha untuk memotong mata rantai tersebut agar petani juga untung, konsumen tidak dirugikan karena harga yang terlalu mahal. “Jadi meski musim hujan, bukan berarti pasokan cabai tidak ada. Saya pastikan pasokan cabai dari petani ada. Jadi masyarakat tidak perlu panik,” tegas Spudnik.
Untuk mengantisipasi berkurangnya pasokan, terutama pada musim hujan, Spudnik mengatakan, pemerintah akan mengatur pola tanam cabai. Misalnya, untuk kebutuhan Maret-April, petani dihimbau agar menanam pada Januari-Februari. Sedangkan untuk mempersiapkan permintaan saat Lebaran nanti, petani harus menanam pada April-Mei ini.
Dua Faktor
Kenaikan harga cabai dan bawang merah ibarat tamu yang selalu datang tiap tahun. Setidaknya ada dua faktor mengapa dua komoditi hortikultura tersebut kerap mengalami gejolak.
Sekretaris Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian, Yasid Taufik mengatakan, setidaknya ada dua faktor penyebab kenaikan harga cabai dan bawang merah. Pertama, cabai dan bawang merupakan produk yang bersifat komplementer (saling melengkapi), tapi tidak tergantikan.
Kedua, kebutuhan memanfaatkan dua produk tersebut tidak banyak. Akibatnya, masyarakat tidak terlalu peka terhadap perubahan harga. Misalnya, untuk membuat sambal, paling hanya perlu 3-4 buah cabai dan beberapa siung bawang merah, sehingga membeli setengah ons saja bisa untuk satu minggu.
Dengan demikian, jika terjadi peningkatan harga 3-4 kali lipat untuk konsumsi harian, tidak akan terasa. Contohnya, dalam kondisi normal harga bawang Rp 12 ribu/kg. Jika ibu rumah tangga membeli satu ons hanya Rp 600, maka kenaikan harga empat kali lipat hanya Rp 2.400. “Untuk kebutuhan satu minggu, biasanya orang tidak akan berpikir dua kali,” kata Yasid.
Di sisi lain, kenaikan 3-4 kali lipat tersebut justru memberikan keuntungan luar biasa bagi spekulan atau middle man yang berada pada rantai pasok. Kalkulasinya, jika seorang pedagang mempunyai ruang penyimpanan sekitar 800 ton (800 ribu kg), maka dia akan meraup untung Rp 10 ribu/kg. Total keuntungannya bisa mencapai 80 miliar dalam beberapa hari.
“Disparitas (perbedaan) harga di tingkat konsumen dan produsen ini disinyalir lebih dari 150%. Di sinilah yang kemudian spekulan bermain untuk mengambil keuntungan luar biasa,” ujarnya.
Harga jual cabai dan bawang di tingkat petani akan tergerek naik jika mengetahui informasi kenaikan harga di tingkat pasar. Meski akhirnya disparitas harga tersebut tetap melebar. “Naiknya harga cabai dan bawang ini sangat berdampak secara makro ekonomi dengan adanya inflasi. Begitu harganya naik, otomatis akan menurunkan daya beli dari masyarakat itu sendiri,” ungkap Yasid.
Karena itu, pemerintah menghimbau pelaku usaha untuk berbisnis dan mengambil keuntungan secara wajar. Selain itu, keuntungan bisnis hortikultura ini harus bisa terdistribusi kepada seluruh pelaku usaha. Misalkan keuntungan dari petani sekitar 20%, lalu dijual ke pasar induk dengan keuntungan sekitar 15%. Dari pasar induk ke pasar tradisional sekitar 10-15%.
“Petani, pedagang besar, retail dan konsumen harus sama-sama untung. Jangan sampai ada memanfaatkan berlebihan dari keuntungan pasar,” tegasnya. Melonjaknya harga cabai dan bawang di tingkat konsumen tidak menggambarkan kondisi produksi di tingkat petani. Jadi masyarakat tidak perlu khawatir mengenai isu kenaikan lantaran kurangnya produksi maupun gagal panen di daerah sentra.
Pemerintah kata Yasid, berupaya memperpendek rantai pasok dengan menggandeng pelaku usaha (middle man) dengan produsen (petani) karena semua saling membutuhkan. Pelaku usaha digandeng sebagai avalis (champion). Petani ikut serta dalam program Ditjen Hortikultura untuk meningkatkan produksi dan berkualitas baik.
Pelaku usaha juga akan mendapatkan produk sesuai harapan. Dengan tingkat harga yang sesuai atau wajar dalam keuntungan. Salah satu perusahaan swasta yang bertindak sebagai avalis adalah PT. Gunung Mas Agro Lestari (GMAL) untuk penguatan sektor produksi cabai dan bawang merah di 17 provinsi di kawasan Indonesia Timur. Gsh/Yul/Ditjen Hortikultura
Mengatur Pola Tanam
Mengatur pola tanam menjadi salah satu jalan agar harga cabai tak pedas lagi di konsumen. Dengan trik tersebut, pasokan akan kontinyu sepanjang tahun.
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Ditjen Hortikultura, Yanuardi mengatakan, melihat kebutuhan yang terus meningkat, pihaknya mendapat tugas untuk bisa menyediakan pasokan cabai tiap saat. Salah satu yang kini tengah dilakukan adalah pengaturan pola tanam di sentra-sentra cabai.
Jika selama ini produksi cabai hanya fokus di Pulau Jawa, maka kini pemerintah mendorong pengembangan di Sumatera, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara hingga Papua. Tujuannya agar bisa mandiri cabai bawang di daerah tersebut.
Dengan demikian, kebutuhan nasional selama setahun bisa terbagi-bagi pada masing-masing sentra. Untuk tahun 2016 ini, pengembangan budidaya aneka cabai akan dilakukan pada lahan seluas 15.167 ha di beberapa kawasan.
Yanuardi mengakui, biasanya petani menanam cabai di musim penghujan karena terkait dengan pengairan. Padahal di musim penghujan, cabai lebih rentan terkena hama dan penyakit. Karena itu, dia menghimbau, sebaiknya petani menanam di musim kemarau. “Lebih baik menanam di musim kemarau dan panen musim penghujan. Sehingga tidak ada yang namanya gejolak harga,” sarannya.
Budidaya cabai seharusnya dilakukan pada April-Sepetember (in-season). Saat itu curah hujan mulai menurun dan serangan hama penyakit berkurang. Sedangkan pada Oktober-Maret (off season), produksi cabai mengalami penurunan 40-50% dan biaya produksi meningkat 30%.
Memang kendala utama petani menanam cabai pada musim kemarau karena masalah air. Pasalnya, cabai merupakan tanaman yang banyak membutuhkan air, tapi tidak boleh berlebihan. Karena itu, petani lebih senang menanam cabai pada musim penghujan, meski resiko gagal panen lebih tinggi dibandingkan musim kemarau.
Untuk mengantisipasi agar petani mau menanam cabai di musim kemarau, ada alternatif yang pemerintah sarankan, yakni sistem irigasi sprinkle (teknologi penyiraman secara semprot). Teknologi sprinkle ini meliputi tampungan air/tangki, pompa air dan pipa. Jadi nanti air keluar dari pipa tersebut.
Lebih Intensif
Tidak dapat dipungkiri untuk menghemat biaya usaha tani, petani cabai memang cenderung memilih tanam saat musim hujan. Namun menanam cabai musim penghujan, petani harus lebih intensif dibandingkan musim kemarau.
Sebab, menurut Yanuardi, saat musim hujan lebih banyak penyakit yang timbul. Misalnya, penyakit patek, penyakit karena bakteri Pseudomonas solanacearum hingga penyakit keriting daun. Jadi meski cabai tergolong tanaman yang membutuhkan banyak air, tapi tidak bisa tergenang air. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai merah adalah sekitar 600-1.200 mm/tahun.
“Jika air hujan langsung jatuh ke tanah bisa menimbulkan bercak-bercak dan menimbulkan penyakit,” tuturnya. Untuk mengatasi penyakit, lanjut Yanuardi, banyak teknologi seperti rain shelter yakni menggunakan plastik UV untuk memayungi pohon-pohon cabai. Teknologi ini, bisa mencegah air hujan agar tidak langsung terkena tanaman karena berbahaya bagi tanaman.
Sedangkan dalam pembuatan naungan, Yanuardi mengingatkan, harus dirancang sesuai kondisi cuaca di Indonesia. Bangunan screenhouse merupakan bangunan semi permanen yang kerangkanya terbuat dari bambu. Gsh/Yul/Ditjen Hortikultura
Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066
Editor : Julianto