TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Di tengah pandemi corona (covid 19),
Industri crude palm oil (cpo/minyak sawit) masih berjalan. Khususnya untuk produksi dan operasional industri sawit masih berjalan normal. Kendati begitu, minyak sawit yang 70 persen produksinya diekspor ke sejumlah negara saat ini mengalami hambatan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono mengungkapkan, permintaan minyak sawit dunia saat ini mengalami kontraksi. " Pada Maret lalu permintaan minyak sawit dunia turun 16 persen dibanding tahun sebelumnya (YoY). Bahkan, bulan sebelumnya sempat anjlok hingga 20 persen," kata Joko Supriyono dalam Webinar bertajuk " Menyusun Strategi dan Solidaritas Mendukung Perkebunan dan Masyarakat Menghadapi Covid 19", melalui zoom, di Jakarta, Senin (11/5).
Menurut Joko, permintaan terbesar minyak sawit adalah pasar ekspor. Sebab, pasar domestiknya hanya 30 persen (termasuk untuk biodiesel).
"Saat pandemi covid 19, negara tujuan ekspor sawit Indonesia seperti India, China, dan sejumlah negara Uni Eropa lock down. Demand minyak sawit hingga saat ini mengalami kontraksi," papar Joko.
Joko mengaku, karena pasar dunia mengalami kontraksi, diperkirakan akan terjadi over supply yang berdampak terhadap menurunnya harga minyak sawit. " Awal tahun ini harga cukup baik. Kalau terjadi over supply harga akan turun. Dan hal inilah yang harus diantisipasi," ujarnya.
Melemahnya permintaan pasar minyak sawit dunia sebagai dampak covid 19, lanjut Joko akan berimbas pada penurunan harga sawit. Bahkan, harga tandan buah segar (TBS) petani sawit pun bakal terkena imbas penurunan.
"Cash flow petani pun akan turun," ujarnya.
Efisiensi dan Dukungan Likuiditas
Menurut Joko Supriyono, meskipun belum tahu kapan pandemi covid 19 berakhir, yang tak kalah penting dan perlu dipikirkan adalah pasca pandemi. Nah, di pasca pandemi hampir semua agribisnis sawit perlu likuiditas.
" Industri sawit perlu dukungan likuiditas dengan kemudahan pinjaman di bank. Petani pun dipermudah untuk dapatkan KUR," kata Joko.
Joko juga mengimbau agar pemerintah mengurangi hambatan ekspor. "Kami sudah menyurati Kementerian Perdagangan terkait dengan kebijakan ekspor saat ini yang kami rasa malah mengganggu kelancaran ekspor," kata Joko.
Lantaran ada pelemahan demand (pasar global) dan serapan pasar domestik, menurut Joko, harus ada efisiensi di industri sawit. "Seperti retribusi yang terjadi di daerah harus ditertibkan. Dan yang tak kalah penting adalah menata legalitas kebun sawit," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron, menyatakan prihatin terhadap imbas covid 19, karena banyak sektor industri dan perdagangan terhenti. Bahkan, daya beli masyarakat pun mulai turun.
" Di industri sawit, meskipun produksi masih jalan tapi terkendala di pasar globalnya," kata Herman.
Herman juga mengaku, untuk mendorong pasar domestik minyak sawit melalui B- 30 dan B-40 juga masih banyak kendala. Sebab, demand B-30 di Jakarta masih rendah. "Sedangkan permintaan B-30 untuk PLN baru sekitar 30 persen dari produksi," ujarnya.
Menurut Herman, guna mengatasi industri sawit supaya tak terpuruk diperlukan relaksasi untuk daya dukung di hulu dan ekspor. " Kami sudah usulkan 19 item stimulus di industri. Termasuk, penundaan tarif PLN, percepatan bantuan langsung, kemudahan suplai, kemudahan ekspor dari B to B menjadi G to G," papar Herman.