Aroma kopi Luwak begitu menyengat saat Sinar Tani berkunjung ke Wisata Agro Kopi Luwak B 36, Landih, Kintamani. Saat mencicipi secangkir kopi Luwak produksi I Wayan Jamin ada sedikit aroma dan rasa jeruk.
Di tengah ketinggian perkebunan kopi yang sejuk milik Wajan Jamin merasakan kopi Luwak memang menghangatkan. Meski bukan penikmat kopi, tapi satu kata yang bisa terucap, nikmat. Apalagi ketika mengetahui bawah harga kopi Luwak tersebut tidak cocok untuk kantong seorang wartawan.
Bayangkan, harga kopi luwak asal Kintamani, Bali dibandrol hingga Rp 5 juta per kilogram. Satu bungkus 200 gram, ada yang harganya mencapai Rp 250 ribu. Meski harganya cukup tinggi, tapi kopi Luwak menjadi salahsatu produk perkebunan yang permintaan cukup tinggi di pasar internasional. Bagi para penikmat kopi, harga tak lagi menjadi halangan untuk bisa menyeruput kopi Luwak.
Selama ini, kopi tersebut dihasilkan melalui proses fermentasi di tubuh luwak dan dikeluarkan melalui kotoran binatang tersebut. Karena melewati proses tersebut, kopi Luwak sempat menimbulkan pro dan kontra kehalalan di kalangan masyarakat, terutama kaum muslimin. Setelah melalui kajian mendalam mengenai proses pembuat kopi tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa halal kopi Luwak.
Selain harga yang menggiurkan, permintaan kopi Luwak kini terus menunjukkan peningkatan. Karena itu banyak wilayah sentra kopi di Indonesia mengembangkan kopi luwak. Bukan hanya kopi yang berasal dari jenis Arabika, tapi juga kopi Robusta.
Pemerintah telah menetapkan kopi Luwak menjadi salahsatu kopi specialty aasli Indonesia. Di samping jenis kopi lainya yakni, kopi Toraja, kopi Mandailing, Kopi Gayo, Kopi Lembah Baliem dan Kopi Jawa.
Di satu sisi tumbuhnya produksi kopi Luwak di Indonesia memang menggembirkan, karena tingginya permintaan di pasar akan mudah segera dipasok. Tapi di satu sisi justru menimbulkan keprihatinan. Masyarakat justru mengeksploitasi binatang Luwak tersebut secara besar-besaran. Luwak-luwak ditangkap dan dikandangkan, lalu dipaksa memakan kopi untuk bisa menghasilkan kopi Luwak dari kotorannya.
Keprihatinan tersebut membuat Rubiyo, Kepala Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar dan peneliti-peneliti dari Institut Pertanian Bogor dan Balai Pengkajian dan Peneleitian Pertanian (BPTP) Bali berpikir untuk menghasilkan kopi Luwak, tanpa melalui hewan tersebut.
“Awalnya kami berpikir, bahwa di dalam perut luwak pasti ada enzim tertentu yang bisa melakukan fermentasi biji kopi,” kata Rubiyo di sela-sela Seminar dan Ekspo Nasional Inovasi Teknologi Kopi di Bogor, beberapa waktu lalu.
Lalu, tim peneliti melakukan kajian lebih lanjut terhadap hewan Luwak. Enzim-enzim tersebut dilihat dari kotoran Luwak yang bercampur dengan biji kopi dan yang berada di perut Luwak. Enzim tersebut dimurnikan dari Luwak lalu diujicobakan ke biji kopi. “Ternyata kopi yang difermentasi dengan enzim tersebut menghasilkan cita rasa yang sama dengan kopi yang berasal dari kotoran Luwak,” katanya.
Informasi lebih lengkap baca EDISI CETAK TABLOID SINAR TANI (info berlangganan SMS ke : 081317575066).
Editor : Ika Rahayu