Peluang pasar olahan coklat semakin terbuka lebar seiring dengan tingginya permintaan di tingkat domestik dan internasional. Untuk bisa merajai pasar dunia, usaha fermentasi kakao di dalam negeri harus diperkuat.
Hingga saat ini, petani kakao memiliki kesadaran yang rendah untuk melakukan fermentasi terhadap produk kakaonya. Padahal dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 67 Tahun 2014 tentang Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji Kakao, disebutkan bahwa seluruh petani kakao wajib mengimplementasikan kakao fermentasi untuk memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) 2323:2008/2010.
Ketua Asosiasi Kakao Fermentasi Indonesia, Syamsudin Said mengatakan pemerintah perlu melakukan upaya “pemaksaan” untuk mengakselerasi jumlah petani yang memfermentasi kakaonya. Pasalnya, pemerintah menargetkan implementasi 100% dalam 2 tahun setelah Permentan tersebut diundangkan, tepatnya pada Mei 2016.
Padahal upaya fermentasi ini juga bisa meningkatkan harga jual dari kakao itu sendiri. "Sekarang kan harga kakao kita lagi nggak bagus. Kita harus dongkrak harga ini dengan mengupayakan langkah fermentasi terhadap biji kakao," kata Syamsudin dalam sebuah diskusi, di Hotel Aston, Jakarta.
Hingga sekarang, selisih harga penjualan antara kakao yang sudah difermentasi dan yang belum, berkisar antara Rp 2.000- Rp 2.900 per kg. Oleh karena itu, menurutnya, melalui kebijakan pengenaan bea keluar kakao, petani tentu akan kembali melakukan proses fermentasi kakao. "Petani di delapan provinsi penghasil kakao sudah mulai melakukan fermentasi,” tegasnya.
Syamsudin mencontohkan banyaknya rupiah yang bisa didapatkan apabila melakukan proses fermentasi. “Jika di satu daerah dihasilkan kakao 100 ribu ton atau 100 juta kilo, berarti ada Rp 200 miliar yang bisa didapat untuk kakao fermentasi. Sebanyak Rp 20 miliar bisa masuk ke pendapatan daerah. Itu yang bisa didapat jika menerapkan fermentasi, tapi justru tidak mereka sadari,” tegasnya.
Produktivitas yang masih rendah lantaran lahan yang sedikit juga menjadi penyebab enggannya petani melakukan fermentasi. “Kisaran produksi di Sulawesi dari masing-masing petani biasanya hanya 500 kilo-1 ton. Itu yang membuat mereka malas untuk fermentasi,” tegasnya.
Kualitas Rendah
Syamsudin mengungkapkan bahwa petani umumnya merasa malas untuk menerapkan fermentasi pada produksi kakaonya karena butuh 3-4 hari lagi untuk mengeringkan, dan terjadi penyusutan bobot 3%-5%. Ada pula risiko tingkat fermentasi yang tidak sesuai standar pabrik. “Fermentasi di sini maksudnya adalah diperam agar matang. Ada biaya produksi paling per kilo kakao sekitar Rp 1.000,” ungkapnya.
Fermentasi kakao sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh petani. Fermentasi dilakukan untuk menghilangkan lendir yang menempel pada kulit biji kakao. Jika kulit biji kakao tersebut berlendir, maka akan mengurangi aroma dan citarasa kakao saat disangrai. Selain itu fermentasi juga berguna untuk menghilangkan jamur yang menempel pada biji kakao.
Cara fermentasi cukup mudah, tinggal memasukkan biji kakao ke dalam kotak kayu yang sudah diberi lubang kecil-kecil di bagian bawahnya. Lubang kira-kira berdiameter 1 cm. Fungsinya sebagai jalan masuk oksigen, air dan karbondioksida.
Setelah difermentasi, selanjutnya biji kakao dicuci dengan menggunakan air bersih. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kotoran seperti jamur yang menempel, serta dapat membuat biji kakao nampak lebih bagus dan mengkilap. Pencucian biji kakao ini dapat dilakukan dengan cara menggosok-gosok biji kakao atau mengaduk-aduknya dengan bantuan ayakan hingga biji nampak bersih.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia (Apkai), Arif Zamroni mengatakan, serapan industri untuk fermentasi kakao petani juga masih rendah lantaran tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. “Rendahnya kualitas kakao fermentasi yang dihasilkan petani karena kualitas biji yang tidak sesuai. Tak heran, jika perusahaan industri pengolahan biji kakao menilai biji kakao yang dihasilkan petani disamakan dengan non fermentasi,” ungkapnya.
Biji kakao standar SNI sendiri terdiri dari kadar air 7%, kadar kulit 12–13%, kadar lemak 50–51%, jamur dan benda asing 0%. Kementerian Pertanian juga telah melakukan sosialisasi biji kakao fermentasi kepada petani. Bahkan Kementan juga telah memberi bantuan berupa mesin fermentasi kepada petani.
Di berbagai daerah sentra kakao, petani kakao pun telah mengoperasikan mesin fermentasi kakao, berupa pengering mekanik, kayu bakar, energi matahari ataupun listrik 2.000 watt. Petani di Sulawesi, misalnya, telah melakukan fermentasi meski dengan jumlah yang terbatas.
Proses fermentasi akan menghasilkan kakao dengan cita rasa setara dengan kakao berkualitas tinggi lainnya, seperti kakao yang berasal dari Ghana. Selain itu, kakao Indonesia memiliki kelebihan tidak mudah meleleh sehingga cocok untuk peracikan (blending). “Kakao Indonesia ada di rangking 3 dengan jumlah 800 juta kilo,” ungkapnya.
Dari segi mutu, kakao dari Pantai Gading dan Ghana sudah sepenuhnya merupakan kakao hasil fermentasi. “Sedangkan di Indonesia, jumlah produksi kakao fermentasi tidak mencapai 5%,” tuturnya. Gsh/Ira
Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066
Editor : Julianto