Penyuluh pertanian di BPP Patok Beusi | Sumber Foto:Dok. Sinta
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Di era digitalisasi, paradigma penyuluhan memungkinkan untuk berubah. Perubahan paradigma diperlukan untuk mampu merespon tantangan-tantangan baru yang muncul dari situasi baru ini. Namun demikian, falsafah penyuluhan tidak boleh berubah dan harus diketahui penyuluh pertanian.
Dewan Pembina Perhimpunan Penyuluh Pertanian (Perhiptani), Mulyono Machmur mengatakan, pembangunan pertanian di era 4.0, sistem penyuluhan pertanian harus dibenahi sesuai tuntutan. “Mau tidak mau, suka tidak suka, penyuluhan harus ke arah sana (revolusi 4.0,red),” ujarnya saat acara Ngobrol Asik (Ngobras) Penyuluhan Pertanian di Jakarta, Rabu (26/1).
Untuk membangkitkan penyuluhan pertanian, menurut Mulyono, memang paradigma harus berubah. Paradigma penyuluh yang ada saat ini disusun saat revitalisasi penyuluhan atau sudah hampir 20 tahun lalu.
Ada sembilan paradigma yaitu, penyuluhan sebagai jasa informasi, penyuluhan pertanian berorientasi agribisnis, penyuluhan pertanian fokus pada lokalitas, pendekatan kelompoktani dan gapoktan, fokus pada kepentingan petani, pendekatan humanistik-egaliter, profesionalisme, akuntabilitas dan memuaskan petani.
Namun demikian, pimpinan perusahaan Tabloid Sinar Tani ini mengingatkan, perubahan paradigma tidak mengubah falsafat penyuluhan. “Paradigma penyuluhan pertanian akan berubah sesuai perkembangan situasi, akan tetapi tidak mengubah falsafah dan prinsip-prinsip dasar penyuluhan pertanian,” tegasnya.
Dalam pengembangan penyuluhan pertanian diperlukan adanya landasan falsafah yang pasti dan jelas. Falsafah akan membawa pada suatu pemahaman yang mendasari atau menjadi landasan melaksanakan kegiatan yang lebih layak untuk mendapatkan hasil yang prima.
“Jika falsafah itu disepakati, maka falsafah itu harus digunakan sebagai pegangan dan pedoman utama dalam menentukan kebijakan, merencanakan dan melaksanakan penyuluhan pertanian,” katanya.
Mulyono mengungkapkan, ada empat falsafah dasar penyuluhan pertanian. Pertama, penyuluhan pertanian adalah proses pendidikan. Artinya penyuluhan pertanian harus dapat membawa perubahan manusia dalam hal aspek-aspek perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik.
Kedua, penyuluhan pertanian adalah proses demokrasi. Artinya penyuluhan pertanian harus mampu mengembangkan suasana bebas untuk berpikir, berdiskusi, menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan bertindak bersama-sama.
Ketiga, penyuluhan pertanian adalah proses kontinyu/berkelanjutan, dunia berkembang, manusia berkembang, ilmu berkembang, teknologi berkembang, sarana berkembang, usaha berkembang. Jadi harus sesuai dengan perkembangan, baik materi yang disajikan, cara penyajian, dan alat bantu penyajian.
Keempat, falsafah bekerja bersama. Falsafah ini merupakan warisan Ki Hadjar Dewantoro “Hing madyo mangun karso” yang mengandung makna adanya kerjasama antara penyuluh (agen pembaharuan) dengan klien (petani). Artinya penyuluh bekerjasama dengan petani agar petani aktif berprakarsa (dalam proses belajar) mengembangkan usaha bagi dirinya.
Dari keempat falsafah dasar penyuluhan pertanian ini menurut Mulyono, akhirnya disepakati oleh para ahli, praktisi dan politisi nasional tentang definisi penyuluhan pertanian yang dituangkan dalam UU No 16/2006 SP3K.
Dalam UU SP3K, penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama, serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraan, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian lingkungan hidup.
“Paradigma adalah kesepakatan nasional. Kalau mau mengubah, ubah lagi sesuai kemajuan zaman. Ini boleh diubah agar lebih progresif, tapi falsafah harus tetap,” katanya.