TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Peran Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di kecamatan akan jauh lebih optimal jika penyuluh pertanian ditangani pemerintah pusat. Bahkan peran BPP bisa menjadi Bapennas di tingkat kecamatan.
Pakar Penyuluhan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Peni Wastutiningsih, menyoroti urgensi transformasi dalam penyuluhan pertanian sebagai kunci utama dalam membangun keberlanjutan sektor pertanian di Indonesia. Dalam pandangannya, pertanian tidak hanya sekadar sektor ekonomi, tetapi tulang punggung dari seluruh pembangunan nasional.
"Pertanian tidak akan mungkin berjalan tanpa adanya penyuluhan dan negara tidak dapat berjalang tanpa pertanian," ungkap Sri Peni saat FGD Penyuluh Pertanian, Mau Kemana yang diselenggarakan Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional (KPPN), Selasa (5/7).
Untuk itu, Sri Peni menilai transformasi kelembagaan penyuluhan sangat mendesak. Kelembagaan BPP perlu ditingkatkan sehingga memiliki peran layaknya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di tingkat kecamatan.
"Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) idealnya bukanlah sekadar lembaga, melainkan harus menjadi pusat pengembangan terpadu untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan dan sebagai pusat koordinasi dan implementasi,” katanya.
Peni mengakui, dirinya termasuk pihak yang galau terhadap nasib penyuluh pertanian saat ini. Apalagi dampak UU Pemerintah Daerah, pertanian menjadi urusan pilihan. Kondisi tersebut akan sangat mudah diganti dengan urusan lain yang Pemda anggap lebih penting.
Karena itu, Sri Peni juga mengangkat isu tentang keterbatasan anggaran yang memengaruhi kinerja para penyuluh yang tergabung dalam BPP. "Apakah realistis untuk satu BPP melayani beberapa kecamatan sekaligus?" tegasnya.
Peran BPP sebagai lembaga yang menjalankan tugas perencanaan pembangunan pertanian di tingkat kecamatan perlu dilanjutkan pembinaan kerja sama dengan para stakeholder. "Kerja sama antar stakeholder menjadi krusial. Semua pihak harus menyadari peran mereka dalam mendorong pertanian ke arah yang lebih baik," lanjutnya.
Untuk itu, Sri Peni meminta adanya amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan setiap pemerintah daerah bisa membuat standar yang berbeda dalam penyelenggaraan dan pengaturan posisi penyuluh pertanian.
“Negara kita tidak dapat lepas dari pertanian sehingga tidak tepat bila pertanian bukan ditempatkan sebagai urusan wajib,” tegasnya.
Pakar UGM ini juga menyoroti pentingnya pemetaan program studi di perguruan tinggi yang mendukung kebutuhan wilayah. Perguruan tinggi katanya, harus memiliki tanggung jawab yang jelas dalam mendukung pertanian sesuai dengan kebutuhan lokal.