TABLOIDSINARTANI.COM, Ungaran – Perhiptani Jateng menegaskan bahwa BOP sebesar Rp 300 ribu untuk penyuluh pertanian tidak mencerminkan penghargaan yang layak.
Ketua Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia (Perhiptani) dari Wilayah Jawa Tengah, Warsana mengungkapkan kekecewaannya atas pemberian biaya operasional Penyuluh (BOP) untuk tahun mendatang hanya Rp 300 ribuan.
“Kemarin kita bertemu dengan Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Kementerian Pertanian dan disepakati BOP di angka Rp 380 ribu,” tuturnya.
Menurut Warsana, angka tersebut jauh dari yang diharapkan karena sebelumnya Perhiptani sudah bersurat mengenai besaran BOP sesuai yang direkomendasikan yaitu minimal Rp 1.500.000.
“Keluar angka segitu sebenarnya sudah kami urai yakni BOP tersebut untuk biaya makan dan bensin, senilai Rp 50 ribu sehingga dihitung 30 hari, maka BOP yang diharapkan adalah Rp 1.500.000,” tuturnya.
Lalu, bagaimana awalnya muncul angka Rp 320 ribu sebagai BOP untuk Penyuluh? Warsana bercerita bahwa pada tahun 2012, penyuluh pertanian diberikan BOP untuk menunjang kegiatan mereka.
Saat itu, ketika ditanya berapa biaya harian yang dihabiskan, penyuluh menjawab sekitar Rp 20 ribu per hari dengan waktu kerja 16 hari, sehingga ditetapkanlah angka Rp 320 ribu.
“Namun, itu kan sudah lebih dari 10 tahun lalu. Saat ini, angka BOP tersebut sudah sangat tidak manusiawi. Jika nilai itu masih diberikan kepada penyuluh, bisa dikatakan ini adalah penghinaan terhadap profesi Penyuluh Pertanian,” tegasnya.
Pendapat serupa disampaikan oleh Sekjen Perhiptani Jateng, Ahmad Baihaqi, yang mendukung kenaikan BOP bagi Penyuluh Pertanian.
Ia menegaskan pentingnya penarikan komando penyuluh ke tingkat pusat untuk memastikan program ketahanan pangan dan pertanian dapat terlaksana merata di seluruh Indonesia.
“Kebijakan pertanian di setiap kota atau kabupaten tidak merata; ada yang mendukung, ada pula yang tidak peduli terhadap penyuluh,” ujarnya.
Menurut Baihaqi, program ketahanan pangan dan pertanian memerlukan satu komando dan kendali agar kebijakan ini bisa terpantau dengan baik hingga ke tingkat desa. “Kami mengusulkan agar penyuluh pertanian berada di bawah komando pusat,” tegasnya.
Ia juga berharap agar UU Otonomi Daerah dapat direvisi, mengingat pentingnya menarik penyuluh pertanian ke tingkat pusat untuk memperkuat program ketahanan pangan.
Merespon tuntutan dari Penyuluh Pertanian ini, Anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Gerindra, Abdul Wachid mengatakan pihaknya siap mengawal di DPR RI, meskipun tidak terlibat secara langsung.
“Miris saya mendengarnya, Penyuluh hanya dapat Rp 300 ribuan, sedangkan pendamping PKH dari Kementerian Sosial selama satu bulan Rp 3 Juta yang terdiri dari upah dan BOP,” tuturnya.
Nasib penyuluh ini disebut Abdul Wachid sama seperti nasib relawan Tagana yang hanya mendapatkan Rp 250 ribu per bulan. “Dan itu juga hanya didapatkan 6-8 bulan sekali,” tukasnya.
Karena itu, Abdul Wachid menyarankan agar Perhiptani segera mengadakan diskusi bersama Komisi IV DPR RI. Tujuan dari diskusi ini adalah untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan para penyuluh pertanian dan mendesak peninjauan ulang terkait alokasi BOP yang dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.
"Perlu ada kesepakatan bersama dengan DPR dan pemerintah, agar kebutuhan penyuluh pertanian di seluruh daerah dapat terpenuhi, sehingga mereka bisa bekerja dengan maksimal," ujar Wachid.
Ia menambahkan bahwa Komisi IV, yang membawahi bidang pertanian, adalah pihak yang tepat untuk mendengar keluhan dan usulan dari Perhiptani mengenai isu ini.
Abdul Wachid menegaskan bahwa penyuluh adalah sumber daya manusia yang sangat penting dalam sektor pertanian.
Peran mereka krusial dalam mendukung petani di lapangan, mulai dari memberikan bimbingan teknis hingga membantu mengimplementasikan kebijakan pemerintah yang terkait dengan ketahanan pangan dan produktivitas pertanian.
Ia juga menambahkan bahwa tanpa dukungan penuh dan peningkatan kesejahteraan bagi para penyuluh, target peningkatan produksi pertanian bisa sulit tercapai.
Oleh karena itu, menurutnya, kesejahteraan penyuluh harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan pertanian ke depan, termasuk melalui revisi anggaran operasional penyuluhan yang selama ini dinilai belum memadai.