TABLOIDSINARTANI.COM, Lampung Tengah -- Kesejahteraan petani memang menjadi persoalan tersendiri bagi dunia pertanian. Di sisi lain, kondisi lahan pertanian juga mulai tidak sehat karena penggunaan sarana produksi berbahan kimia yang berlebihan. Kondisi itu lah yang membuat Sukarlin, petani di Desa Rejosari, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung Tengah, miris. Dengan latar belakang itulah, kini ia terus mendorong petani berbudidaya padi secara sehat.
Sebagai Ketua Perkumpulan Poktan Gapsera, Sukarlin berharap dengan berbudidaya padi secara sehat, bukan hanya lahan pertanian menjadi sehat, tapi juga kesejahteraan petani meningkat. Sebab, harga beras sehat lebih tinggi dibandingkan beras yang dibudidayakan secara konvensional menggunakan sarana produksi baik, pupuk dan pestisida kimia."Budidaya padi sehat lebih menguntungkan," ujar Sukarlin saat kunjungan pers Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian di Kabupaten Lampung Tengah, Kamis (5/3).
Hitungan Sukarlin, dari sisi biaya usaha tani, budidaya padi sehat lebih murah hanya sekitar Rp 4 juta/ha. Sementara budidaya padi konvensional mencapai Rp 7 juta/ha. Bahkan produk padi sehat harganya juga lebih tinggi Rp 500/kg dari harga beras biasa. "Jika kita hitung produktivitasnya sama, berkurangnya biaya produksi dan harga gabah yang tinggi sudah sangat menguntungkan petani. Beberapa petani ternyata bisa menghasilkan produktivitas lebih tinggi dari yang konvensional," katanya.
Penghematan biaya produksi itu karena Sukarlin tidak menggunakan pestisida kimia dan mengganti dengan pestisida alami untuk menangani hama penyakit tanaman. Petani membuat sendiri peatisida alami dengan menggunakan agen hayati. Sukarlin mengaku, budidaya padi sehat memang belum sepenuhnya seperti budidaya organik. Sebab, petani masih menggunakan pupuk kimia. "Kami petani memang masih menggunakan pupuk kimia, tapi takarannya sudah berkurang karena diganti dengan pupuk organik. Perbandingan pupuk organik 60 persen dan 40 persennya pupuk kimia," tuturnya.
Lebih membanggakan lagi bagi Sukarlin, dari hasil uji laboratorium di Sucopindo, ternyata beras produk petani yang tergabung dalam PP Gapsera, tidak mengandung residu pertanian. Bahkan sudah mendapat sertifikat bebas residu pestisida. "Beras Gapsera juga cocok untuk konsumsi penderita diabetes," ujarnya.
LAZNAS BSM
Sukarlin bercerita, dalam mengembangkan padi sehat tidak mudah. Awalnya, sekitar tahun 2007 ada sekitar 10 petani yang mengembangkan padi sehat dan ramah lingkungan dalam program SRI Organik.
Namun seiring waktu berjalan, ternyata banyak petani yang tidak sabar menekuni budidaya sehat. Dari 10 petani, tinggal 2 orang petani yang mengembangkan budidaya sehat. "Saat itu saya berpikir, mengapa budidaya padi ramah lingkungan malah tidak menikmati keuntungan," ujarnya.
Salah satu penyebab, petani mundur dan tidak lagi membudidayakan padi sehat, karena persoalan pemasaran. Sebab, dalam penjualan padi atau beras sehat tidak bisa cepat dan perlu proses waktu. Padahal di sisi lain, kebiasaan petani adalah ingin mendapat penghasilan yang cepat (instan) untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. "Petani menganggap pertanian sehat ini ribet dan dapat uangnya lama," ujarnya.
Namun Sukarlin tidak putus asa. Ia bersama Supardi, petani yang masih konsen mengembangkan padi organik dan kini menjadi Ketua P4S Saung Bambu sejak tahun 2011-2016 terus berupaya menumbuhkan kegiatan budidaya padi yang ramah lingkungan dan sehat, serta hasil produksinya aman. Tahun 2017, kerja keras Sukarlin mendapat apresiasi dari LAZNAS BSM. "Kegiatan yang kita lakukan ternyata cocok dengan program LAZNAS BSM yakni sama-sama untuk kesejahteraan rakyat, lestarikan alam dan aman dikonsumsi," ujarnya.
LAZNAS BSM kemudian meluncurkan program Klaster Pertanian Sehat. Lembaga itu Sukarlin akui sangat mendukung kegiatan petani menghasilkan beras sehat. Kini petani telah memiliki produk Berasaera, beras sehat produksi PP Grasera dengan kualitas premium. Bahkan petani banyak yang membudidayakan padi sehat. Desa Rejo Asri, Kecamatan Seputih Raman pun menjadi Desa BSM (Berdaya Sehat Sejahtera).