TABLOIDSINARTANI.COM, Aceh Tamiang --- Selama delapan tahun terperangkap dalam kehidupan fatamorgana, dirinya berubah setelah kehilangan kedua orangtuanya. Kini menjadi pelopor pertanian organik di Desa Pahlawan, Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang.
Namanya, Abdul Muin yang kini masih berusia 42 tahun. Bersama 28 milenial lainnya sejak 2008 membuat kelompoktani "Serasi" dan kini tengah giat mensukseskan pertanian organik di Bumi Muda Sedia.
Ketertarikannya pada pertanian organik dimulai ketika ketersediaan pupuk di lapangan saat dibutuhkan tidak ada. Bahkan ada yang bilang jika bertani organik itu mahal, tetapi nyatanya bisa dilakukan Muin secara ramah lingkungan dan berkelanjutan. “Banyak limbah yang terbuang saya manfaatkan untuk kompos dan biayanya juga relatif lebih murah”, bebernya.
Muin bercerita, dari pengamatan setelah beberapa kali musim tanam diberikan pupuk kimia, tanahnya menjadi keras dan serangan hamapun semakin ganas tak terkendalikan dengan pestisida, sehingga hasilnya tidak meningkat. Tahun 2018 lalu dengan adanya kompos bioaktivator, hasil temuan Admansyah Lubis, ia beralih ke pertanian organik.
Bertani organik katanya, selain dapat memperbaiki keadaan tanah yang rusak, tanamanpun tumbuh subur dan menjadi bagus serta jarang sekali terserang hama dan penyakit.
Selain memiliki lahan pekarangan rumah peninggalan almarhum orangtuanya dia juga punya lahan seluas satu hektar untuk tanaman hortikultura. Bersama anggotanya lahan seluas 2000 m dimanfaatkan untuk menanam berbagai jenis tanaman sayur sayuran, ada mangga, durian, belut, ikan (system Bioflok) serta ayam. “Sementara untuk kambing ada di lokasi lain”, ungkapnya.
Di lahan 400 meter persegi, dia pernah menanam bawang merah yang menghasilkan 700 kg, pada saat panen kemarin harganya pun lumayan Rp.25.000/kg. Selama masa dua bulan menanam bawang dia berdua dengan anggotanya telah menghasilkan uang 15 juta rupiah dan masuk ke kas kelompok. "Pokoknya setiap ada laba yang diperolehnya selalu disisihkan untuk kas kelompok.
Begitu juga di pinggiran halaman rumahnya terdapat alur sungai yang panjangnya 1000 meter, pihak desapun sudah menghubunginya untuk dikelola secara terpadu.
Namun dengan sedikit berdiplomasi dan mengatakan bukan menolak, tapi pihaknya kurang pantas menerima bantuan dana kampung, "sebaiknya untuk anak anak muda yang baru tamat sekolah dan belum mempunyai lapangan kerja saja", sambungnya.
Ditambahkannya seluruh waktu dan biaya yang dikeluarkan selama ini telah mendapat suport dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan serta Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Aceh Tamiang.
Sementara untuk tanaman cabai merah dia memiliki lahan khusus seluas satu hektare, dia membuat pergiliran tanaman dengan bawang merah.
Untuk meningkatkan hasil dalam bertani, dalam segala hal berkoordinasi dengan penyuluh, khususnya dalam mengadopsi teknologi inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Kamipun pernah belajar tentang teknologi, di lokasi demplot bawang merah di kecamatan Mulia.
Misi yang diharapkan dari kelompoknya adalah untuk merubah anak muda jangan lagi terjun ke lembah hitam. Khususnya bagi para kaum milenial selama ini ia telah menggerakkan untuk memelihara ikan di alur sungai yang melintasi halaman rumahnya. Alur sepanjang 300 meter telah dipelihara beberapa jenis ikan, seperti Patin, Gurami Nila dan Ikan Lele.
Dengan modal bibit ikan yang diberikan secara gratis, terlihat anak anak muda kampung Pahlawan sangat senang dan serius untuk membudidayakannya secara baik. "Istilahnya kalau butuh ikan, tidak perlu lagi menjaring atau memancing tinggal ambil saja, ketika panen tiba," katanya bersemangat.
Pahitnya Masa Lalu
Siapa sangka, Ayah satu anak ini pernah terjerat dalam kubangan narkotika ketika masih muda. Ketika ditanya apa yang membuatnya berhenti? Dengan lantang dia menjawab "Kalau tidak sekarang kapan lagi kita berubah", tuturnya.
"Saya pakai narkoba mulai sejak tamat SMA, mengisap ganja dan minuman keras. Namun Alhamdulillah saya tidak memakai Sabu," cerita Muin dan tanpa disadari airmatanya jatuh berlinang.
Raut wajah Abdul Muin sedih, bicaranya terbata bata mengenang masa lalunya yang sangat pahit. Sejenak dia terdiam tak bisa mengeluarkan kata kata lagi, bicaranya pun tersendat sendat.
Airmatanya mulai menetes ketika dia menceritakan bahwa dirinya mempunyai seorang anak. "Kalau kita tidak mau berubah sekarang, kapan lagi kita berubah? Dan bagaimana keadaan anak dan keluarga kita kedepan," katanya sambil mengusap air mata dan tatapan matanya yang kosong.
Untunglah sebagai anak paling bungsu dari tujuh bersaudara dia mendapat izin dan menetap di rumah tua yang khas adat Tamiang. Dahulunya dalam keluarga dirinya dicap sebagai anak yang paling rusak, namun sekarang kakak dan abangnya sudah mulai percaya padanya.
Dia mengaku titik paling kritis yang menjeratnya, dialami dari tahun 2002 hingga 2004. Sikapnya berubah total sejak ditinggalkan oleh Ayahnya (2004) dan Ibunda tercinta tahun 2007, karena tidak ada lagi tempat bermanja dan mengadu ketika tertimpa persoalan dan masalah. Selama tiga bulan hidupnya saat itu terombang ambing, kosong dan tanpa tujuan.
Setelah dia bertemu dengan seorang ustad dan sering mendengarkan ceramah ceramah tentang agama, mulailah dia bangkit dari keterpurukannya. Dari sinilah ia secara perlahan membuang kebiasaan buruknya selama ini.
Untuk menghilangkan kebiasaan buruk, setiap malam semua anggotanya diajak bergabung sambil ngopi mereka berceria dan menyusun program untuk esok. Dan program yang tersusun, diwujudkan dengan bekerjasama dan bergotong royong.
Sekarang, halaman rumahnya sudah penuh dengan berbagai macam sayuran dan ikan serta ternak madu, melibatkan semua anggota kelompoknya.
Walaupun hanya menamatkan sekolah melalui paket C, tertanam dalam benaknya melihat pertanian daerah lain maju, niat baiknya muncul ingin berbuat sesuatu yang terbaik di kampungnya. "Walau sekecil apapun yang kita buat untuk kebaikan orang lain tentu pahalanya sudah tercatat. Karena sebaik baik manusia ketika kehadirannya bermanfaat bagi orang lain", pungkasnya berfilosofi.