Wahyu Suprapto
TABLOIDSINARTANI.COM, Batu -- Ir Wahyu Suprapto selama ini dikenal sebagai sosok yang akrab dengan tanaman obat dan jamu tradisional, pemilik griya jamu Siti Ara yang diambil dari nama istrinya Siti Hidjrati tinggal bersama di jalan Imam Bonjol gang 1 no.16 A Kelurahan Sisir Kota Batu. Kedatangan kami disambut isterinya, tidak berselang lama beliau menemui kami juga. Kunjungan kami adalah khusus untuk berbincang masalah pertanian tanaman herbal.
Dia mengatakan budidaya tanaman obat herbal sebenarnya tidak berbeda dengan tanaman pertanian lainnya. “Secara umum budidaya tanaman obat itu dibagi 4 (empat) yaitu: tanaman herbal, tanaman semak, tanaman perdu dan tanaman pohon,” begitu beliau mengawali pembicaraannya. Wahyu Suprapto mengatakan, kalau bisa paling tidak 80 persen dari bahan organik kalau mutlak 100% organik sampai sekarang itu belum bisa karena dalam pengelolaan tanah, perawatan masih menggunakan pupuk dan bahan pestisida, serta penanganan pasca panen juga memerlukan penanganan yang berbeda.
Dalam pengolahan tanahnya yang paling intensif adalah tanaman herbal dalam bentuk rumput yang kecil-kecil (semak-semak) karena sangat rentan persaingan tumbuhnya dengan gulma, kemudian yang lain tidak terlalu berat. Tanaman perdu hampir sama dengan tanaman pohon hanya tanah yang akan ditanami saja yang diolah untuk gulma secara sepintas saja dibersihkan.
Dalam penanganan perawatan diusahakan 80% menggunakan bahan organik baik itu berupa pupuk maupun obat obatan, bahan-bahan organik yang diberikan karena hasil produknya digunakan untuk kesehatan. Apabila pruduknya banyak mengandung logam-logam berat dari bahan anorganik akan mempunyai dampak bagi kesehatan manusia.
BACA JUGA:
Untuk penanganan pasca panennya bagian mana yang mau dipanen, kalau itu tanaman herbal tentunya akan dipanen semuanya kadangkala dengan akarnya kemudian ada yang dipanen hanya daunnya, ada yang kulit batangnya, ada yang batangnya, ada rating-rantingnya, ada biji-bijian, bunganya tentunya penanganannya akan berbeda beda. “Kalau misalnya daun dan bunga diusahakan untuk kering alami dengan bantuan angin, atau kalau dikeringkan tidak terkena sinar matahari langsung, untuk kulit batang, kayu, biji bisa dijemur langsung, kalau sifatnya akar/rizoma atau empon-empon itu melihat jenisnya, bisa dikeringkan dengan dirajang dulu sedangkan untuk jenis empon-empon jahe, kunyit, temulawak untuk prosesnya tidak boleh dijemur 1 hari penuh, lewat dari jam 12 atau jam 1 siang itu diteduhkan dulu kecuali dibawah rumah kaca atau rumah plastik, karena dikawatirkan sinar utraviolet itu berpengaruh terhadap perubahan senyawa aktif pada rimpang-rimpang tadi.” tuturnya.
Lebih lanjut beliau menjelaskan,”Kemudian masalah proses pengeringannya kalau untuk jenis kayu/batang paling tidak kadar airnya 10% atau lebih sedikit masih bisa, untuk daun, bunga, lalu rimpang tadi seperti jahe dan lain sebagainya kalau bisa 10% ke bawah karena mereka higroskopis, apabila di atas 10?lam pengeringannya, kemudian apabila disimpan akan berakibat timbulnya jamur, setelah itu dikemas dalam wadah-wadah yang kedap udara misalnya toples kaca, seandainya dikemas dikantong plastik kita carikan jenis plastik yang kedap udara, kalau plastik yang biasa masih lembab dan udara bisa masuk kadangkala terjadi peningkatan kadar air yang berakibat tumbuhnya jamur.”
Masalah-masalah tersebut biasanya masyarakat bisa melakukan dengan baik, yang jadi masalah sekarang adalah bagaimana memanfaatkannya, karena saat ini pemerintah sendiri masih berpijak pada dua kebijakan, disatu sisi ingin mengembangkan tanaman obat herbal di sisi lain peraturannya masih menggunakan peraturan obat-obat modern. “Umpamanya secara modern tanaman ini mengandung senyawa apa, gunanya untuk apa, diluar itu tidak bisa digunakan untuk yang lain, kemudian kalau misalnya didalam tanaman itu ditemukan senyawa-senyawa yang bersifat racun lalu dilarang,”tuturnya.
Lebih jauh beliau menjelaskan perbedaan obat-obat herbal yang digunakan secara tradisional adalah obat herbal itu tidak hanya dilihat sekedar kandungannya, tetapi sifatnya, kemudian karakternya, kemudian arahnya masuk ke organ mana ini yang perlu diperhatikan jadi energinya ada yang panas juga ada yang dingin, kemudian karakternya ada yang menguatkan dan ada yang melemahkan, lalu arahnya yang dikenal dengan istilah afinitas itu masuk ke organ mana, ini yang didalam peraturan pemerintah itu tidak diperhatikan sehingga kalau ini tidak mengandung senyawa ini misalnya tidak bisa digunakan padahal kalau tidak mengandung senyawa itu kalau dipasangkan dengan senyawa lain bisa berfungsi, sehingga dalam 1 (satu) tanaman bisa digunakan untuk beberapa macam pengobatan tergantung pasangannya, hal ini yang sampai saat ini kita belum mempunyai ahli dibidang itu sehingga terjebak dengan penelitian yang dilakukan oleh negara industri obat-obatan modern.”
Saat ini pemahaman yang berkembang pada masyarakat adalah apabila seseorang yang sembuh dengan mengkonsumsi obat herbal adalah secara kebetulan hal ini dengan alasan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah karena tidak mengikuti ilmu kedokteran atau kaidah formal maka dianggap tidak bisa diterima karena tidak bisa di teliti bagaimana dan ke mana proses penyembuhannya tidak bisa diteliti secara ilmu pengetahuan sekarang istilahnya farmakokenetik-nya tidak bias diamati dan farmakodinamika-nya tidak bias diikuti. Menurut Wahyu Suprapto, “untuk bisa mengikutinya harus dengan bahan tunggal padahal tanaman diciptakan Tuhan tidak mengandng 1 (satu) bahan tunggal, dimana 1 (satu) tanaman bias mengandung 46 bahan.”
Sepanjang mata memandang halaman rumah tumbuh beraneka ragam tanaman herbal terkesan asri walaupun agak tidak beraturan penataannya, dominasi tanaman jahe merah serta pohon kelengkeng tumbuh disudut halaman rumah Bapak Wahyu Suprapto, dengan harapan suatu saat nanti dapat meneliti lebih jauh tanaman lainnya.
===
Sahabat Setia SINAR TANI bisa berlangganan Tabloid SINAR TANI dengan KLIK: LANGGANAN TABLOID SINAR TANI. Atau versi elektronik (e-paper Tabloid Sinar Tani) dengan klik: myedisi.com/sinartani/