Ansar saat bersama Dirjen Tanaman Pangan, Suwandi | Sumber Foto:DOk. Sinta
TABLOIDSINARTANI.COM, Blitar---Ketergantungan petani terhadap pupuk kimia bersubsidi menjadi persoalan tersendiri dalam pembangunan pertanian. Apalagi ketika alokasi pupuk subsidi tersebut tak sesuai dengan permintaan petani. Akibatnya gejolak kelangkaan pupuk pun terjadi.
Data Kementerian Pertanian pada tahun 2022 alokasi pupuk subsidi untuk Urea sebanyak 4.232.704 ton, SP-36 sebanyak 541.201 ton, ZA sebanyak 823.475 ton, NPK sebanyak 2.470.445 ton, NPK Formula Khusus sebanyak 11.469 ton, Organik Granul sebanyak 1.038.763 ton dan organik Cair sebanyak 1.870.380 ton.
Secara nasional kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 22,57 juta hingga 26,18 juta ton per tahun. Namun alokasi anggaran melalui Kementerian Keuangan hanya cukup untuk 8,87 juta hingga 9,55 juta ton dengan anggaran subsidi Rp 25 trilliun. Dari hitungan tersebut, sudah pasti jumlah pupuk subsidi yang pemerintah bisa sediakan jauh dari harapan atau kebutuhan petani.
Karena itulah Kementerian Pertanian kini mendorong petani tak lagi tergantung dengan pupuk kimia bersubsidi dan bisa mendiri dalam penyediaan pupuk. Untuk itu, perlu ada pendekatan dengan cara baru atau inovasi yang tidak lagi mengandalkan pupuk kimia.
Salah satu inovasi yang bisa dikembangkan petani adalah teknik Biosaka. Sang inovator teknologi tersebut adalah Muhammad Ansar, petani dari Blitar, Jawa Timur. Biosaka adalah salah satu sistem teknologi terbarukan dalam perkembangan dunia pertanian organik modern yang terbentuk sebagai bio-technology (biologi-teknologi).
“Biosaka tidak menggunakan mikroba maupun proses fermentasi dalam pembuatannya,” kata Ansar dalam satu webinar di Jakarta, beberapa waktu lalu. Namun ia mengakui, sebenarnya Biosaka bukan teknologi yang rumit, tapi hanya sesuatu yang sederhana sekali. “Dalam membuatnya tidak menggunakan mesin, hanya dengan tangan,” tambahnya.
Ansar mengakui, awalnya dirinya hanya ingin membantu petani, namun malah kini berkembang dengan baik di Blitar. Sebagai penggagas Biosaka, ia mulai melakukan riset tahun 2006. Kemudian mulai dikembangkan secara masif pada tahun 2011 melalui pemberdayaan petani. “Kami memberikan pendampingan dan observasi langsung pada lahan milik petani,” ujarnya.
Kemudian sejak pertengahan tahun 2019, Ansar mulai melakukan pendampingan di wilayah Kabupaten Blitar, khususnya petani di wilayah Kecamatan Wates. Saat itu jumlahnya hanya 1-2 petani. Namun melalui getuk-tular dan dibantu petugas pertanian lapangan, perkembangan selama 2 tahun pendampingan teknologi Biosaka sudah mulai diuji coba pada skala luas.
“Kini hampir setiap kecamatan wilayah Blitar sudah menerapkan. Kami belum bisa pastikan berapa petani yang menerapkan, tapi terus bertambah,” ujarnya.
Kelebihan dan Kekurangan
Ansar menjelaskan beberapa kelebihan biosaka. Pertama, efektifitas kinerja yang baik. Reaksi biosaka dapat dilihat dalam waktu 24 jam setelah aplikasi. Kedua, dapat digunakan pada seluruh fase tanaman, mulai dari benih sampai panen.
Ketiga, proses produksinya pun sangat cepat karena tidak menggunakan metode fermentasi yang biasanya memakan waktu paling cepat 1 minggu. Keempat, cara penggunaannya mudah dan penggunaan dosis yang sangat sedikit, cukup 40 ml dicampur 15 liter air untuk satu kali penyemprotan untuk luasan 1.000m2, atau 400ml untuk 1 ha tanaman padi. “Penyemprotan dari mulai tanam sampai panen dilakukan sekitar 7 kali,” katanya.
Kelebihan lainnya menurut Ansar adalah dapat diterapkan pada semua komoditas, termasuk tanaman perkebunan. Lebih penting, penggunaan biosaka dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia hingga 50-90 persen, sehingga jauh menghemat biaya produksi. “Bahan baku Biosaka juga tersedia setiap saat di lingkungan petani, dimana dan kapanpun,” ujarnya.
Namun demikian Ansar mengakui, kekurangan Biosaka adalah tidak dapat diproduksi dengan mesin. Kekurangan lain, bahan baku yang terus berganti pada saat pembuatan. “Setelah saya mempelajari, hama selalu berganti dan beradaptasi. Hasil penelitian saya ternyata teknologi alam bisa dimanfaatkan petani untuk adaptasi lingkungan. Teknologi alam menjadi kelebihan Indonesia,” katanya.
Sementara lanjut Ansar, dengan perkembangan teknologi pemupukan petani didorong terus menghasilkan tiap tahun yang tak lagi berpatokan pada warisan leluhur. Di sisi lain selama ini petani hanya mengenal dua musim yakni musim kemarau dan hujan.
“Mengokombinasikan warisan leluhur yakni ilmu mongso yakni mongso tanam, mongso paceklik, mongso tandur dan teknologi modern, saya akhirnya menemukan teknologi Biosaka. Ternyata alam menghasilkan apa yang kita butuhkan, termasuk dalam pertanian,” ceritanya.
Selain itu Ansar menjelaskan terkait unsur hara tanah. Selama ini menurutnya, banyak yang hanya memahami unsur hara makro dan mikro, khususnya NPK dan Kalsium. Padahal banyak unsur hara lain yang petani juga harus paham, seperti Magnesium dan Sulfur, bahkan ada sekitar 17 unsur, serta asam amino.
“Jika kita memahami unsur ini, maka kebutuhan pupuk makro hanya sedikit. Jadi sebenarnya Biosaka buka ngawur, termasuk cara memilih bahan, bukan rumput apa saja, tapi banyak faktor yang harus dipahami,” tuturnya.
Ansar mengatakan, Biosaka terbuat dari rerumputan yang dicampur dengan air lalu dihancurkan. Setelah itu bisa langsung di aplikasikan di lahan untuk semua jenis tanaman. Namun ia mengingatkan, untuk pemilihan rumput harus memakai rumput yang sehat yang tidak tercampur bahan kimia. Bukan hanya itu, juga harus diketahui masa pertumbuhan rumput berada di fase vegetatif atau generatifnya.