TABLOIDSINARTANI.COM, Kupang --- Pj Gubernur NTT, Andriko Noto Susanto, tegas menyerukan perubahan dengan meninggalkan ketergantungan impor dan hidupkan potensi lokal seperti sorgum, langkah berani ini demi kemandirian pangan dan ekonomi NTT!
Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Andriko Noto Susanto, menegaskan bahwa sektor pertanian adalah penggerak utama perekonomian masyarakat dan daerah.
Dalam pandangannya, kemandirian pangan harus menjadi prioritas, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto.
"Kita harus mencetak lebih banyak lahan untuk memaksimalkan potensi pertanian seperti jagung dan sorgum agar dapat menekan angka impor serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat," ujar Andriko, Jumat, (22/11).
Deputi III Bidang Penganekaragaman Konsumsi Dan Keamanan Pangan di Badan Pangan Nasional ini juga menyoroti pentingnya optimalisasi sektor unggulan dan hilirisasi hasil pertanian sebagai langkah strategis.
Ia juga mengkritik kebijakan impor yang dinilai telah membuat Indonesia terlena.
"Selama ini, kita dibuai dengan impor. Barang lokal diadu dengan produk murah dari luar hingga menghancurkan komoditas kita sendiri dan menciptakan ketergantungan," ungkapnya tajam.
Menurut Andriko, meskipun harga pangan lokal lebih mahal, hal itu tetap lebih baik karena uang akan berputar di dalam negeri.
Salah satu contoh nyata adalah impor gandum, Andriko memaparkan bahwa Indonesia mengimpor hingga hampir 14 juta ton gandum karena secara agroekologi tidak cocok dan tidak ada petani yang menanam.
"Itu mengerikan karena uang negara tersedot keluar hanya untuk membeli gandum," tukasnya.
Oleh karena itu, ia mendorong masyarakat untuk mengandalkan pangan lokal. "Kalau beras nggak cukup, makan ubi, singkong, pisang. Kita punya banyak pilihan," lanjutnya.
Diversifikasi pangan juga menjadi poin penting dalam strategi Andriko.
Ia menyebutkan bahwa protein tidak harus bergantung pada daging, tetapi bisa berasal dari ikan, seafood, atau biji-bijian hasil pertanian.
"Kembali ke sumber daya yang kita miliki. Kalau kita nggak tanam, jangan dimakan. Makan yang kita tanam," tegasnya.
Karena itu, Andriko sangat mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang berbasis bahan baku lokal.
Program ini dirancang untuk memberikan makanan sehat kepada anak-anak sekolah di daerah, menggunakan hasil bumi dari NTT seperti jagung, sayuran, dan buah lokal.
Dana untuk program ini diproyeksikan mencapai Rp8 triliun pada tahun 2025, jauh lebih besar dari APBD NTT yang hanya Rp5,2 triliun.
"Kebayang dong kalau Rp8 triliun muter di sini? Dampaknya pasti luar biasa," katanya dengan optimis.
Sorgum Harapan
Salah satu komoditas unggulan yang menjadi fokus Andriko adalah sorgum.
Produksi sorgum di Indonesia saat ini masih tergolong rendah, padahal potensinya sangat besar.
Sorgum bisa menjadi pengganti jagung dalam pakan ternak, bahan baku bioetanol, hingga alternatif pengganti gandum.
"Kita bisa buat sereal tanpa perasa atau pewarna dari sorgum," kata Andriko.
Tanah NTT, menurut Andriko, sangat cocok untuk pengembangan sorgum.
Sejak 2023, pemerintah pusat telah menunjuk NTT untuk menyiapkan bibit sorgum guna mendukung pengembangan 400.000 hektar lahan sorgum secara nasional.
Hal ini memberikan peluang besar, tidak hanya untuk ketahanan pangan lokal, tetapi juga membuka pintu bagi peluang ekonomi baru.
Dengan strategi diversifikasi pangan, hilirisasi, dan optimalisasi hasil pertanian lokal seperti sorgum, Andriko yakin NTT mampu memanfaatkan potensi terbaiknya.
Lebih dari sekadar solusi ketahanan pangan, ini adalah langkah strategis menuju kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.
"Kembali ke pangan lokal adalah kunci," tutupnya penuh semangat.
Dukungan Petani
Konsep program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mengedepankan pangan lokal tidak hanya mendapat dukungan dari pemerintah, tetapi juga dari para petani lokal di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Salah satu petani, Joan, menyatakan antusiasmenya terhadap program ini.
Menurutnya, inisiatif tersebut dapat mengangkat hasil pertanian lokal sekaligus memperkuat perputaran ekonomi daerah.
"Hal itu akan membawa kemajuan bagi NTT," ujar Joan.
Selain itu, Joan juga menyoroti pentingnya pengembangan sorgum sebagai komoditas unggulan di provinsi ini.
Tanaman sorgum dinilai memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan, terutama karena mampu bertahan dalam kondisi iklim kering seperti yang ada di NTT.
Namun, ia berharap pemerintah daerah lebih serius dalam memfasilitasi kebutuhan petani, khususnya dalam pengembangan tanaman sorgum.
Harapan senada disampaikan oleh Meroekh, atau yang lebih akrab disapa Max, seorang warga setempat yang turut mendukung program ini.
Menurut Max, program makan bergizi gratis berbasis pangan lokal tidak hanya meningkatkan konsumsi lokal tetapi juga menciptakan perputaran uang yang bermanfaat bagi perekonomian daerah.
"Kalau uangnya berputar di sini, otomatis dampaknya besar bagi masyarakat," ungkapnya.
Max juga mengingatkan tentang rencana besar di masa pemerintahan sebelumnya, ketika NTT dirancang sebagai pusat bibit sorgum nasional.
"Pada era Pak Victor Laiskodat, NTT pernah ditunjuk sebagai penghasil bibit sorgum untuk 400.000 hektar lahan di Indonesia. Tapi sayangnya, hingga kini program itu belum berjalan maksimal," kata Max.
Ia menjelaskan bahwa kebutuhan bibit untuk 400.000 hektar lahan mencapai 4 juta kilogram atau setara dengan 4.000 ton bibit.
Jika NTT dapat memenuhi kebutuhan ini, potensi pendapatan bisa mencapai Rp100 miliar.
"Harga bibit di NTT saat ini sekitar Rp25.000 per kilogram, jauh lebih kompetitif dibandingkan Jawa yang mencapai Rp50.000 per kilogram," paparnya.
Max juga menyoroti pentingnya keterlibatan pemerintah dalam mendukung petani melalui sistem off-taker, sehingga hasil produksi petani dapat terserap dengan baik.
"Kalau pemerintah NTT serius sebagai off-taker, petani akan mendapatkan kepastian pasar, dan pendapatan daerah bisa meningkat pesat," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa meskipun ada tantangan dalam distribusi, seperti ongkos angkut, hal tersebut masih bisa diatasi dengan biaya yang relatif rendah.
"Kalau dihitung, dengan tambahan biaya distribusi sekitar Rp1.000 per kilogram, harga bibit tetap kompetitif. Ini peluang besar bagi NTT untuk menjadi pusat bibit sorgum nasional," tegasnya.
Dengan dukungan dari petani seperti Joan dan warga seperti Max, pengembangan sorgum di NTT semakin menunjukkan prospek cerah.
Tidak hanya untuk ketahanan pangan lokal, tetapi juga untuk menciptakan peluang ekonomi baru yang berkelanjutan bagi masyarakat.