TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta—Saat ini sektor pertanian telah mengarah pada pemanfaatan mesin pertanian berteknologi tinggi dan benih unggul. Namun biaya usaha tani, khususnya produksi padi di tanah air tetap masih tinggi dibanding Vietnam, Thailand dan sejumlah negara lain cukup tinggi.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir mengatakan, cost produksi padi di Indonesia tercatat sebesar Rp 4.079/kg (GKP), sedangkan di Vietnam hanya Rp 1.679. “Artinya, cost produksi padi di Indonesia lebih mahal 2,5 kali lipat dibanding Vietnam,” ujarnya.
Lantaran, komponen biaya produksi padi cukup tinggi, menurut Winarno, sudah selayaknya, petani tetap mendapatkan subdsidi. Seperti subsidi benih dan pupuk. “Subsidi ke petani ini setidaknya bisa mengurangi beban petani padi,” tegasnya.
Selain benih dan pupuk, lanjut Winarno, pemerintah harus tetap melakukan subsidi pada asuransi usaha petani padi (AUTP). Subsidi terhadap premi AUTP ini sangat membantu petani padi. Apalagi AUTP merupakan bentuk perlindungan kepada petani sesuai dengan UU Perlindungan Petani
“Subsidi terhadap AUTP ini harus tetap dilakukan pada tahun 2020. Peserta AUTP pun harus diperluas, karena petani akan mendapat jaminan usaha ketika menjadi peserta AUTP,” harap Winarno.
Satu hal lagi yang menjadi harapan kalangan petani adalah adanya jaminan pasar terhadap hasil panen petani. Artinya, ketika petani panen, produk yang dihasilkan langsung ada yang membelinya. “Kalau ada jaminan pasar, petani akan semangat tanam di tengah kerawanan kekeringan,” katanya.
Khusus untuk usaha tani padi, Winarno berharap, fungsi dan peran Perum Bulog sebagai buffer stock harus ditingkatkan. Selama ini Bulog tidak diberi kesempatan untuk melakukan bantuan pangan non tunai secara langsung. Padahal Bulog mendapatkan tugas menyerap gabah petani.
“Jadi, beras yang ada di Bulog dapat langsung disalurkan ke masyarakat. Dengan begitu, peran dan fungsi Bulog sebagai penyangga stok pangan rakyat dapat berfungsi dengan baik,” kata Winarno.