TABLOIDSINARTANI.COM, Bogor --- Pemerintah melalui Kementerian Pertanian terus menggaungkan agar petani melakukan pemupukan optimal agar bisa meningkatkan produktivitas, produksi bahkan pendapatan petani. Tetapi di sisi lain, sumber pupuk yang diperoleh petani sebagian besar adalah pupuk bersubsidi masih terkendala. Seperti apa?
"Pertanian di Indonesia tentu saja tidak terlepas dari kebijakan perlindungan petani, sehigga dalam berproduksi petani masih dibantu dengan pupuk bersubsidi,"ungkap Guru Besar Bidang Ekonomi Pertanian, Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, M.Si dalam Webinar Pemupukan Optimal Untuk Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani yang digelar IPB University, Rabu (15/12).
Dengan adanya subsidi pupuk diharapkan produktivitas pertanaman dapat meningkat yang berimplikasi pada peningkatan pendapatan petani dan berujung pada peningkatan produksi pangan terutama beras. Sebab beberapa faktor utama yang dapat meningkatkan produktivitas, selain penyediaan bibit bermutu dan pengairan yang cukup adalah pemupukan yang tepat atau berimbang. Namun kendala di lapangan terkait efisiensi dan efektivitas harus terus diperbaiki.
Seperti diakui Guru Besar bidang ekonomi pertanian dan penyuluhan sekaligus Ketua Umum Himpunan Ekonom Pertanian Indonesia (PERHEPI), Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M. Sc. Menurutnya, disaat pupuk berimbang, optimal dan direkomendasikan oleh pemerintah sudah dipahami petani, justru ketersediaan pupuk bersubsidi untuk mereka terbatas kuotanya.
"Pemupukan optimal dengan pupuk bersubsidi yang disediakan pemerintah, nyambungnya sulit karena terbatas pada alokasi yang telah ditetapkan pemerintah dan tersebar di seluruh Indonesia. Solusinya? kalau beli NPK dengan harga non subsidi, cukup berat karena harganya menembus Rp 450 ribu. Begitupula Urea yang mencapai Rp 400 ribu," cetusnya.
Kendala serupa juga terjadi di masyarakat Nusa Tenggara Barat setelah penelitian yang dilakukan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB baru-baru ini. Masyarakat tani di Kabupaten di Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Utara banyak petani yang tidak sepenuhnya mendapatkan pupuk subsidi sehingga tidak dapat memenuhi rekomendasi pemupukan optimal.
"Misalnya di Lombok Barat, 61 persen mendapatkan keseluruhan pupuk subsidi (yang seharusnya diterima) sisanya 39 persen hanya sebagian terpenuhi. Jadi ada petani yang mendapatkan pupuk subsidi penuh, ada yang cuma sebagian," beber anggota LPPM IPB dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB University, Dr. Ir. Arief Hartono, MSc.Agr.
Untuk memenuhi kebutuhan KCl yang seharusnya diperoleh dari pupuk subsidi, sebagian besar dari mereka menggunakan jerami yang dikembalikan ke lahan. "Pengembalian jerami mencapai 70-97 persen. Tetapi jerami yang masih dibakar juga masih cukup banyak. Abu hasil pembakaran Jerami memang bisa meningkatkan pH tanah dan peningkatan kation Kalium, tetapi kebutuhan C-organik dan nitrogen yang dibutuhkan tanah justru terhambat dengan cara dibakar," jelasnya
Mengenai pemupukan optimal, Dr Arief mengatakan perubahan subsidi pupuk dari NPK 15-15-15 ke 15-10-12, tetap diperlukan pupuk tunggal untuk memenuhi kekurangan hara N, P atau K. "Kalau pakai NPK 15-10-12, untuk memenuhi kebutuhan hara N, P dan K yang direkomendasikan, jumlah pupuk NPK 15-10-12 yang diberikan menjadi lebih banyak dibandingkan pupuk NPK 15-15-15 dan petani tetap harus melakukan penambahan pupuk tunggal untuk hara yang kurang," jelasnya.
Karenanya, menurut Dr Arief pemerintah sudah seharusnya menyediakan pupuk SP36 dan KCl agar kebutuhan P dan K terpenuhi. Kebutuhan K dapat dipenuhi dari pengembalian Jerami ke lahan tetapi perlu edukasi agar pengembalian Jerami ke lahan pertanian sesuai dengan kebutuhan.
Pemetaan Pemupukan
Diakui Dr Arief, rekomendasi pemupukan spesifik lokasi Kementan perlu perbaikan karena ada beberapa ketidaksesuaian dengan kondisi di lapang. Terkait pelayanan kepada petani diperlukan soil big database untuk pemupukan spesifik lokasi. Data dari database kemudian diolah menjadi suatu aplikasi yang memberikan informasi status hara dan rekomendasi pemupukan untuk komoditas tertentu yang dapat dengan mudah diakses oleh petani misalnya melalui smartphone, Dr Arief mengatakan "Perguruan Tinggi dan Kementan harus terbuka dan saling share data untuk keperluan pembuatan peta hara yang lebih akurat" bebernya.
IPB University, khususnya Fakultas Teknologi Pertanian bersama PT Pupuk Indonesia telah mengembangkan Precipalm yang memberikan rekomendai pemupukan spesifik lokasi untuk kelapa sawit dan tengah dikembangkan untuk komoditas lainnya.
Sedangkan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan bersama Twente University, Ewindo, ICCO, Nelen and Schurmen melakukan pemetaan hara-hara dan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi menghasilkan aplikasi SIPINDO. "Aplikasi SIPINDO untuk rekomendasi pemupukan dihasilkan dari hasil analisis hara-hara contoh tanah dalam tiap Satuan Peta Tanah dan kemudian dibuat peta hara misalnya peta P," jelasnya.
Layanan SIPINDO baru terbatas pada tanaman hortikultur seperti tomat, cabe, dan mentimun di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Sekarang kami sedang mengembangkan layanan SIPINDO untuk tanaman bawang dan kentang. Oleh karena itu kami melakukan pengambilan contoh tanah di Sumatera Utara, Banten, Brebes, Pangalengan, NTT, Banjarnegara, dan Bengkulu untuk memperluas wilayah pemetaan hara.