Teknologi PPAI dalam budidaya padi Mbay
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Ketergantungan petani terhadap sarana pertanian, seperti pupuk dan pestisida kimia terbilang cukup tinggi. Guna mengurangi ketergantungan itu, Pandawa Agri Indonesia (PAI) memberikan pendampingan kepada petani untuk menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan.
Teknologi tersebut kini telah dirasakan manfaatnya oleh petani di Mbay, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Seperti Kanisius Sile, anggota Kelompok Tani Nosi Susa I.
“Saya sangat senang karena produktivitas meningkat. Sebalum menggunakan PPAI, hasil panen saya hanya 20 karung dari lahan seluas 0,5 ha. Sekarang tidak hanya hasil panen meningkat menjadi 33 karung, tanaman saya juga lebuh tahan hama dan penyakit. Penggunaan mikoriza dan ououk mikro berfungsi baik pada lahan saya,” tuturnya.
Sidik, anggota Kelompok Tani Nosi Susa I lainnya juga mengakui hal yang sema. Meski awalnya sempat ragu, kini dirinya percaya teknologi PPAI mampu meningkatkan produktivitas tanaman.
“Awalnya saya ragu dengan PPAI. Namun setelah melihat hasil panen meningkat 40 persen, saya merasa yakin. Saya juga merasa terbantu dengan adanya pendampingan lapangan dari PAI,” katanya. Bahkan, lanjut Sidik, tim pendamping di lapangan juga mengingatkan agar dirinya selalu mengecek lahan atau mengaplikasikan pupuk.
Chief Executive Officer (CEO) dan Co-founder PAI, Kukuh Roxa mengatakan, pihaknya menciptakan inovasi reduktan pestisida dan mendorong pengembangan ekosistem pertanian end-to-end yang berkelanjutan di Mbay, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Inisiatif pengembangan ekosistem beras natural Mbay ini merupakan satu diantara beberapa inisiasi lainnya yang dikembangkan PAI untuk petani swadaya (smallholders) di Indonesia.
Dalam Laporan Dampak (Impact Report) yang dirilis pada Rabu (10/8), tercatat sejumlah dampak positif yang dihasilkan dari inisiatif tersebut. Diantaranya peningkatan produktivitas hasil panen hingga 40 persen, peningkatan pendapatan petani, dan kesuburan tanah yang berangsur meningkat.
"Kami selalu berusaha untuk menghasilkan produk dan layanan yang dapat membantu mewujudkan visi perusahaan untuk menciptakan pertanian yang berkelanjutan. Pengembangan ekosistem smallholders ini merupakan cara yang efektif dan efisien dalam mentransformasi sistem produksi pangan menjadi lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan,” tuturnya.
Perusahaan yang berasal dari Kabupaten Banyuwangi ini didirikan pada tahun 2014 dan memulai inovasinya dengan menciptakan produk reduktan pestisida. Produk ini untuk mengurangi dosis pestisida dalam menghalau serangan hama tanaman.
Di tahun 2021, PAI mulai mengembangkan ekosistem bagi petani swadaya dengan menghadirkan teknologi PPAI (Pendampingan Pandawa Agri Indonesia) untuk mendukung inisiatif tersebut. Teknologi PPAI secara khusus dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pertanian di wilayah geografis dan untuk komoditas tertentu.
Pada pengembangan ekosistem beras natural Mbay di Nusa Tenggara Timur, teknologi PPAI yang diterapkan meliputi tujuh intervensi berupa benih bersertifikat, pupuk mikro lengkap, mikoriza, pupuk silika, mikroba pengurai jerami untuk meningkatkan unsur organik dalam tanah, serta reduktan herbisida dan insektisida.
Kukuh mengatakan, PAI secara konsisten menghadirkan berbagai inovasi untuk menciptakan industri pertanian yang tidak hanya menguntungkan, namun juga ramah lingkungan. Hingga kini, reduktan pestisida yang merupakan produk unggulan PAI mampu mengurangi hingga 2 juta liter penggunaan pestisida di Indonesia.
“Kami berharap inisiasi ini dapat mengurangi residu input sintetis secara bertahap, sehingga dapat turut memperbaiki kualitas lingkungan pertanian di Nagekeo. Selain itu, kami berharap teknologi PPAI dapat mendukung petani di Mbay mencapai potensi maksimal, meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan petani,” kata Kukuh.
Dampak positif teknologi PPAI mendapat apresiasi pemerintah setempat, termasuk Bupati Nagekeo, dr. Johanes Don Bosco Do. Menurutnya, Mbay memiliki potensi yang besar untuk dapat menjadi lumbung padi di NTT. “Kami memiliki 5.000 hektar sawah, dan beras asal Mbay sudah terkenal unggul sejak dulu. Namun, beberapa tahun terakhir ini produktivitasnya cenderung stagnan dan kian menurun.,” katanya.
Namun pendampingan PAI terbukti mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen, sehingga pendapatan petani meningkat dan pasokan pangan di daerah tetap terjaga. Bhakan Johanes menilai, pengembangan ekosistem petani swadaya ini sebagai praktik terpadu yang dapat menguatkan perekonomian daerah.
Adapun Kepala Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi NTT, I Nyoman Ariawan Atmaja, mengatakan, pengembangan ekosistem beras natural Mbay ini merupakan praktik yang sangat baik dan patut dibawa ke tingkat nasional untuk contoh program pengendalian inflasi daerah.
“Kedepan saya berharap semakin banyak wilayah di Indonesia yang dapat mengembangkan closed-loop ecosystem seperti ini dengan komoditas yang juga beragam,” katanya.