TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Petani di Indonesia kini menghadapi tantangan berat dengan musim kering yang berkepanjangan. Fenomen iklim dengan terjadinya El Nino membuat petani harus menghemat air agar tetap bisa berusaha tani.
Perubahan iklim memang menjadi tantangan nyata dalam produksi pangan. Kita telah menyaksikan cuaca yang semakin tidak stabil, bencana alam, dan perubahan musim yang dapat mengganggu produksi pangan.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika (BMKG), Supari Phd mengatakan, BMKG dan beberapa Pusat Iklim Dunia memprediksi El-Nino terus bertahan pada level moderat hingga periode Desember 2023-Januari-Februari 2024.
“ENSO sampai akhir September berada pada level moderat dan diprediksi dapat berlangsung hingga periode Januari, Februari, Maret 2024,” katanya saat webinar Hemat Air Saat El Nino Mengadang yang diselenggarakan Tabloid SinarTani, Selasa (10/10).
Dampak kekeringan akibat El Nino diprediksi masih akan terjadi hingga akhir Oktober 2023. Pada November 2023, menurut Supari, beberapa wilayah Indonesia mulai masuk musim hujan. Namun demikian sebanyak 73% Zona Musim (ZoM) masih mengalami musim kemarau.
Sebagian besar wilayah Indonesia mengalami curah hujan rendah yaitu kurang dari 50 mm/dasarian dan banyak wilayah diantaranya, bahkan menerima curah hujan kurang dari 10 mm/dasarian yang memicu terjadinya kekeringan.
“Adanya El Nino diprediksi awal musim hujan akan mundur. Tapi Nopember sudah mulai hujan, tapi dampak El Nino belum akan berakhir, karena El Nino diprediksi sampai Maret tahun depan. Dampak El Nino baru hilang saat masuk musim hujan,” katanya.
Karena itu, BMKG melakukan berbagai upaya sejak awal tahun 2023 untuk menginformasikan potensi kekeringan tahun 2023. BMKG kata Supari telah mengeluarkan peringatan dini kekeringan meteorologis dengan memberikan klasifikasi.
Pertama, Waspada untuk kabupaten di Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku. Kedua, Siaga di Kabupaten di Provinsi Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Ketiga, Awas untuk Kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Sulwesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua Selatan. “Hari tanpa hujan terpanjang tercatat selama 156 hari terjadi di Sumba Timur - Nusa Tenggara Timu. Artinya lebih dari lima bulan. Ini betapa keringnya beberapa wilayah,” katanya.
Teknologi Hemat Air
Menghadapi perubahan iklim yang terjadi saat ini, Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), Kementerian Pertanian, Ir. Ali Jamil, PhD mengatakan, semua pihak perlu bekerja sama untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan menemukan solusi adaptasi yang tepat. Termasuk juga praktik pertanian yang ramah lingkungan, penggunaan sumber daya yang bijaksana, dan perlindungan terhadap kerusakan lingkungan.
“Pertanian adalah salah satu sektor utama yang membutuhkan air dalam jumlah besar. Namun, kita juga harus menyadari bahwa sumber daya air yang terbatas semakin menjadi masalah global. Karena itu, teknologi hemat air adalah langkah penting dalam menjaga keberlanjutan pertanian dan lingkungan kita,” katanya.
Salah satu teknologi utama dalam hemat air adalah irigasi yang cerdas. Dengan menggunakan sistem irigasi yang tepat, seperti irigasi tetes atau irigasi berbasis sensor, petani dapat mengatur jumlah air yang diperlukan tanaman secara efisien. “Ini bukan hanya menghemat air, tetapi juga meningkatkan hasil pertanian,” ujarnya.
Selain itu, teknologi presisi telah memainkan peran penting dalam pengelolaan air di pertanian. Sensor tanah yang canggih, drone, dan perangkat lunak analisis data memungkinkan petani untuk memantau kondisi tanah dan tanaman secara real-time. Dengan informasi ini, petani dapat mengambil keputusan yang lebih baik tentang kapan dan seberapa banyak air yang diperlukan.
“Tak hanya itu, ada juga inovasi dalam penggunaan air daur ulang. Air yang sudah digunakan dapat dimurnikan kembali dan digunakan kembali dalam pertanian. Jadi Ini adalah langkah besar dalam mengurangi pemakaian air bersih,” katanya.
Selain menghemat air, Ali Jamil mengatakan, teknologi hemat air juga dapat mengurangi penggunaan energi, pupuk, dan pestisida. Ini berarti dampak lingkungan yang lebih rendah dan biaya produksi yang lebih efisien.
Secara umum upaya penghematan air irigasi dapat dilakukan mulai dari tingkat penampungan sampai dengan pemanfaatan. Pertama, hemat di tingkat penampungan dengan mengupayakan agar air tidak terbuang ke laut. Misalnya dengan pembangunan embung, dam parit, long storage, recycle air dan lain sebagainya.
Kedua, hemat air pada saat penyaluran dengan perbaikan saluran dan pipanisasi. Ketiga, hemat air melalui sarana aplikasi seperti irigasi tetes, springkler, IOT dan teknologi lainnya. Hemat air juga bisa melalui cara pemberian air seperti sistim irigasi Intermitten dan Alternate Wetting and Drying (AWD).
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Perusahaan Alsintan (Alsintani), Karim mengatakan, beberapa perusahaan telah memproduksi teknologi hemat air, termasuk pompa irigasi smart energy yang menggunakan panel solar dan irigasi tetes.
”Kekeringan memang menjadi masalah besar bagi petani. Tanpa ada air, petani tidak bisa tanam padi. Tapi kita bersyukur masih ada petani yang tanam padi. Sekarang ini bagaimana kita mengelola air,” katanya