TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta --- Pemerintah terus melakukan berbagai langkah untuk meningkatkan produksi pangan khususnya beras. Selain untuk mengurangi import, peningkatan produksi juga menjadi salah satu alasan untuk kita bisa kembali swasembada.
Diungkapkan Pemimpin Perusahaan Tabloid Sinartani, Mulyono Machmur dalam Podcast dengan Sinta TV bahwa El Nino yang terjadi beberapa waktu lalu membuat produktifitas beras tanah air menurun. Dan hal tersebut mendorong pemerintah harus melakukan import hampir 3 juta ton beras untuk memenuhi kebutuhan.
“Menteri pertanian merilis ada penurunan luas tanam dan menjadi prihatin juga produktifitas menurun sehingga kita harus import” tegasnya.
Mulyono menambah sebarnya Indonesia memiliki potensi sehingga tidak import, bagimana bisa meningkatkan produktivitas salah satu jawabannya ada di padi hibrida.
Terkait peningkatan produktifitas, Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Sadar Subagyo mengatakan bahwa ada dua hal yang bisa menjadi solusi yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Untuk ekstensifikasi yaitu mencetak lahan baru terutama lahan rawa.
“Sedangkan untuk intensifikasi ada dua hal yaitu pompanisasi yang saat ini sedang dilakukan pada lahan tadah hujan agar IP yang tadinya 1 menjadi 2. Dan yang kedua adalah menggunakan benih hibrida,” ungkapnya.
Apa yang diungkapkan Sadar diamini, Direktur Utama PT. Primasid, Ayub Darmanto. Ayub yang merupakan produsen padi hibrida Mapan mengaku penelitian padi hibrida yang dilakukan sejak tahun 2003 menemukan satu jenis padi yang memiliki produksi tinggi, agak toleran dan memiliki beras yang pulen.
“Pengalaman kami untuk memperkenalkan padi hibrida tidak mudah, sehingga kami mulai dari 1 kg untuk diberikan sebagai contoh kepada petani dan alhamdulilah hasilnya bagus,” ujar Ayub.
Ayub mengaku potensi produktivitas padi hibrida lebih tinggi hingga 2 ton dibandingkan dengan benih inhibrida.
“Dalam arti di sawah tadah hujan ada petani yang tanam inhibrida dan ada yang tanam hibrida bisa selisih 2 ton. Dengan kesuburan yang tanah dan pemeliharaan yang sama dengan padi inhibrida, insyallah target kita antara 8-10 ton per ha,” ungkapnya.
Lebih lanjut Ayub mengatakan bahwa dengan menggunakan padi hibrida, petani bisa mengurangi penggunaan pupuk. Dan saat ini juga telah dilakukan pengembangan sehingga padi hibrida bisa taham terhadap serangan blas.
Dengan 1 sampai 2 bibit per lubang akan menghasilkan anakan yang banyak mencapai 30 anakan dengan malai rata-rata 250-300.
Selain harga benih padi hibrida yang lebih tinggi dibanding dengan benih padi inhibrida, ada hal lain yang menjadi PR dalam pengembangan padi hibrida yaitu kulit yang sedikit agak tebal.
“Hanya hal tersebut tertutupi oleh kualitas beras, rasa dan aroma. Sehingga otomatis pedagang beras mau membeli dengan harga lebih mahal dari harga gabah biasa. Alhamdulilah harga gabah padi hibrida dibeli dengan selisih sekitar Rp 200” ujarnya.
Dalam acara yang ditayangkan pada chanel Youtube Sinta TV tersebut, Ayub mengaku padi hibrida sudah dikembangkan di beberapa kota, mulai dari Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bal Lombok, NTT, Papua, bahkan hingga di food estate Kalimantan Tengah.
Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki padi hibrida, Ayub mengaku akan terus melakukan pengembangan dan akan memberikan support penuh untuk mewujudkan swasembada.