TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta -- Para petani yang dahulu bergantung pada bahan kimia beracun untuk mengatasi hama kini sedang beralih ke pestisida alami yang berasal dari tanaman. Penggunaan produk organik tidak hanya melindungi tanah dan tanaman, tetapi juga mempertahankan keseimbangan ekosistem.
Sejak zaman kuno, manusia telah menggunakan cara beragam untuk melindungi tanaman dari hama. Di Persia, mereka menggunakan insektisida alami dari bunga Krisan untuk melawan kutu rambut. Namun, pada abad ke-20, pertanian modern beralih menggunakan bahan kimia seperti arsenik, belerang, dan tembaga untuk membasmi hama secara massal demi efisiensi produksi.
Penelitian terbaru oleh sekelompok peneliti Australia menunjukkan bahwa kutu daun telah mengembangkan kekebalan terhadap insektisida kimia. Fenomena ini menjadi tren global yang meningkat, menyoroti pentingnya beralih ke metode kontrol hama yang lebih alami dan berkelanjutan.
Untuk mengatasi resistensi kimia, peneliti merekomendasikan pengendalian hama alternatif dengan bahan organik, termasuk memanfaatkan "musuh alami" seperti kepik dan tawon parasitoid.
Penelitian juga menyoroti bakteri baru yang dapat mengurangi penularan penyakit oleh nyamuk sebagai opsi lain. Dengan mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia, sektor pertanian didorong untuk menggunakan solusi pengendalian hama yang spesifik dan berkelanjutan sesuai dengan kondisi regional.
Biopestisida dari tanaman seperti Pyrethrum, minyak atsiri dari pohon Mimba, dan jamur yang kebal terhadap patogen semakin diminati di seluruh dunia. Mereka efektif mengendalikan hama seperti belalang dan kutu daun tanaman. Pestisida alami ini menjadi pilihan utama petani yang ingin menghindari penggunaan pestisida kimia dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA), pestisida mikroba yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri atau jamur efektif dalam mengendalikan berbagai hama.
Salah satu jenis yang banyak digunakan adalah Bacillus thuringiensis, yang menghasilkan protein dan dapat membunuh larva serangga. Biopestisida ini tidak hanya lebih aman, tetapi juga meminimalkan dampak negatif terhadap satwa lain yang termasuk dalam ekosistem yang terpengaruh.
EPA juga menjelaskan, penggunaan pestisida konvensional dapat mengganggu keseimbangan ekologis dan berdampak pada berbagai organisme seperti burung, serangga, dan mamalia.
Penggunaannya yang luas di sektor pertanian, terutama sejak revolusi pertanian, membuatnya menjadi masif dan berdampak besar.
Sebaliknya, biopestisida bekerja secara efektif dalam jumlah yang sangat kecil, menurut EPA. Pestisida alami dapat terurai dengan cepat, mengurangi paparan terhadap tanah, air, dan polusi limbah bahan kimia.
Meskipun terbukti meningkatkan hasil panen, pestisida alami belum sepenuhnya menjawab tantangan perubahan iklim dan pemanasan global yang mempengaruhi interaksi antara tanaman dan periode kemunculan hama.
Belajar dari Brasil
Brasil, yang merupakan eksportir terbesar kedelai di dunia, telah mencatat kemajuan dalam pengembangan pestisida alami menggunakan jamur dan bakteri organik.
Penerapan mikroorganisme alami terbukti efektif dalam membantu pertumbuhan subur tanaman kedelai sambil melawan hama dan penyakit.
Selain menjadi eksportir utama jagung dan kapas, Brasil juga menjadi konsumen pestisida kimia terbesar di dunia, menurut FAO.
Meskipun konsumsi insektisida kimia terus meningkat, penjualan biopestisida di Brasil meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 4 persen pada tahun 2020 menjadi 9 persen pada tahun 2022.