Jumat, 21 Maret 2025


BRIN: Kelangkaan Pupuk Bersubsidi, Petani Indramayu Terpaksa Beralih ke Pupuk Non Subsidi

19 Jul 2024, 13:33 WIBEditor : Gesha

Pupuk bersubsidi petani

TABLOIDSINARTANI.COM, Bogor -- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengungkapkan hasil kajiannya terkait dampak penurunan alokasi pupuk bersubsidi di Kabupaten Indramayu. 

Peneliti Ahli Muda dari Kelompok Kegiatan Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler Badan Riset Inovasi Indonesia (BRIN), Adhitya Marendra Kiloes M.M., Ph.D, mengungkapkan, BRIN telah melakukan kajian mengenai dampak penurunan alokasi pupuk bersubsidi di Kabupaten Indramayu pada April 2024.

Kajian ini untuk menganalisis pengaruhnya terhadap produksi padi dan memahami penyebab kelangkaan pupuk bersubsidi.

"Survei dilakukan terhadap 170 petani dari 14 kecamatan untuk mengevaluasi dampak penurunan alokasi pupuk bersubsidi dan mengidentifikasi permasalahan dalam penyalurannya," jelasnya.

Hasil survei menunjukkan bahwa 89,17 persen petani mengalami kesulitan dalam memperoleh pupuk bersubsidi hingga menjelang musim tanam April 2024.

Menghadapi kesulitan ini, 87 persen petani memilih membeli pupuk non-subsidi.

Sementara itu, 54 persen responden mengakui akan membeli pupuk subsidi secara ilegal untuk memenuhi kebutuhan pertanian mereka.

Selain itu, 39 persen petani mengurangi dosis pupuk, 22 persen mengambil jatah dari petani lain, dan 21% memanfaatkan sisa pupuk dari musim tanam sebelumnya.

Adapun 12 persen petani beralih menggunakan pupuk organik sebagai alternatif.

"Selama ini, stakeholder hanya menangani masalah pupuk bersubsidi secara permukaan dengan menganggap bahwa kekurangan pupuk dapat diselesaikan dengan memungkinkan petani membeli pupuk non-subsidi atau menghapus subsidi pupuk sama sekali," cetusnya.

Permasalahan Utama

Namun, dirinya mengingatkan pentingnya memahami sistem yang mendasari terjadinya suatu hal, termasuk untuk pupuk bersubsidi, guna menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan.

"Diperlukan pemahaman yang baik mengenai sistem penyaluran pupuk bersubsidi, bukan hanya prosedurnya, dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Hal ini bertujuan agar kebijakan penyaluran pupuk bersubsidi bisa dilakukan secara sederhana, tepat sasaran, dan memberikan manfaat maksimal," jelasnya.

Saat ini, model yang dikembangkan bersama para pemangku kepentingan masih berupa model kualitatif.

"Karena itu, perlu mengidentifikasi permasalahan di setiap rantai pasok, mulai dari distributor, kios, hingga kelompok tani dan petani individu," tambahnya.

Hasilnya, ditemukan 11 permasalahan utama mengapa pupuk bersubsidi masih bermasalah di tingkat lapangan.

Permasalahan terbesar adalah 76 persen petani tidak terdaftar di sistem, diikuti rumitnya penebusan (72 persen), pupuk tidak ada saat dibutuhkan (68 persen), harga tidak sesuai (56 persen) , kerumitan pendaftaran (43 persen).

Masalah lainnya seperti permainan kios (36 persen), data tidak konsisten (29 persen), pendaftaran tidak fleksibel (27 persen), sistem IT yang tidak mendukung (23 persen), dan adanya pasar gelap (15 persen).

"Di media dan arahan Menteri memang cukup tebus pakai KTP saja, tapi di lapangan ada kios yang meminta sampai menunjukkan sertifikat tanah," cetusnya.

Hingga kini, keberadaan pupuk bersubsidi masih sangat diperlukan oleh petani, terutama petani dengan skala produksi yang terbatas.

Reporter : Nattasya
BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018