Kamis, 01 Mei 2025


Akibat Alokasi Kuota Pupuk Bersubsidi Tak Transparan, Petani Jadi Korban

05 Mar 2025, 10:36 WIBEditor : Gesha

Alokasi pupuk subsidi yang tak transparan membuat mereka kehilangan jatah tanpa pemberitahuan. Produksi anjlok, panen terancam, dan petani pun hanya bisa gigit jari!

TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta -- Alokasi pupuk subsidi yang tak transparan membuat mereka kehilangan jatah tanpa pemberitahuan. Produksi anjlok, panen terancam, dan petani pun hanya bisa gigit jari!

Petani di berbagai daerah kini menghadapi ketidakpastian yang bikin geram. Bayangkan, mereka sudah merencanakan musim tanam dengan asumsi mendapatkan pupuk subsidi 200 kg per hektare. 

Eh, ternyata saat mau nebus di pengecer resmi, yang muncul di sistem cuma 100 kg!

"Ah, saya udah dapet 200 kg nih!" begitu kira-kira perasaan awal mereka. Tapi kenyataan di lapangan? Zonks! Jatah pupuk tiba-tiba menyusut tanpa ada pemberitahuan jelas. Petani pun merasa kena prank, seakan diberi harapan palsu (PHP).

Pengurangan ini bukan tanpa sebab, menurut Prof. Dr. A. Faroby Falatehan, Guru Besar Kebijakan Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Berkelanjutan IPB University, pemangkasan subsidi pupuk terjadi karena pemerintah menyesuaikan anggaran.

"Pemotongan anggaran ini langsung berdampak pada petani. Kuota mereka berkurang, tapi mereka tidak diberi tahu lebih dulu. Ini berbahaya karena ketidakpastian input produksi bisa mengganggu hasil panen," ujar Prof. Faroby dalam konferensi pers Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah, IPB University.

Di sisi lain, pemerintah juga mulai menyesuaikan komoditas penerima subsidi. 

Jika dulu sawit termasuk yang mendapat subsidi pupuk, kini tidak lagi. Sebaliknya, ubi kayu mulai masuk dalam daftar penerima subsidi.

Namun, bukan hanya soal berkurangnya kuota yang bikin petani pusing, tapi juga mekanisme distribusinya. 

Sekarang, pupuk subsidi disalurkan langsung ke pemerintah desa, kelompok tani (poktan), atau koperasi.

"Nah, ini titik rawannya! Kalau distribusi tidak transparan dan pengawasan lemah, bisa jadi celah bagi oknum nakal untuk bermain," tambah Prof. Faroby.

Sistem baru ini menggunakan Electronic Data Capture (EDC) di pengecer resmi. Jadi, saat petani mau menebus pupuk, mereka otomatis tahu jatah yang tersisa.

Namun, tanpa informasi yang jelas di awal, petani tidak memiliki kendali atau kesempatan untuk mencari alternatif sebelum musim tanam dimulai.

"Petani tidak diberitahu sejak awal. Mereka hanya tahu ketika hendak menebus pupuk. Ini seperti jebakan, karena mereka sudah merencanakan tanam, tetapi pupuknya malah kurang," katanya. 

Apalagi kini pemerintah mendorong pembentukan gabungan kelompok tani (Gapoktan) serta kelompok budidaya ikan (Pokdakan) untuk memperkuat sistem distribusi. 

Meski di satu sisi bisa meningkatkan efisiensi, tetapi di sisi lain masih menyisakan kekhawatiran soal transparansi dan kesiapan kelompok tani dalam mengelola distribusi yang lebih besar.

Dengan kondisi seperti ini, petani berharap pemerintah segera memberikan kepastian dan transparansi dalam alokasi subsidi. 

Jika tidak, ketidakpastian ini bisa berdampak pada produktivitas pertanian nasional dan kesejahteraan petani kecil.

Agar petani tidak lagi merasa "dikerjai" dengan sistem yang tidak jelas, transparansi dalam alokasi subsidi pupuk harus diperkuat. 

Pemerintah perlu memastikan bahwa petani mendapatkan informasi secara terbuka, sehingga mereka bisa menyesuaikan strategi pertanian mereka tanpa terjebak dalam kebijakan yang berubah-ubah.

Reporter : Nattasya
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018