Terkait permasalahan permodalan, BUMDes didorong menjadi penyelamat dalam penyaluran pupuk bersubsidi pasca Inpres 6/2025 ditetapkan, tapi sebenarnya ada risiko besar yang mengintai!
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta -- Terkait permasalahan permodalan, BUMDes didorong menjadi penyelamat dalam penyaluran pupuk bersubsidi pasca Inpres 6/2025 ditetapkan, tapi sebenarnya ada risiko besar yang mengintai!
Implementasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2025 tentang penguatan ketahanan pangan nasional membawa harapan sekaligus tantangan bagi petani.
Salah satu masalah yang paling krusial adalah pembiayaan pupuk bersubsidi.
Tanpa mekanisme yang jelas, petani bisa kesulitan mengakses pupuk tepat waktu, yang pada akhirnya berdampak pada hasil panen mereka.
Dalam kondisi seperti ini, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sering kali disebut sebagai solusi alternatif.
Namun, di balik peluang tersebut, ada pertanyaan besar: apakah BUMDes benar-benar bisa membantu petani atau justru menambah kompleksitas masalah di lapangan?
Menurut Prof. Dr. A. Faroby Falatehan, Guru Besar Kebijakan Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Berkelanjutan IPB University, persoalan utama dalam skema subsidi pupuk adalah ketidakpastian permodalan.
Petani biasanya hanya bisa menunggu keputusan pemerintah, yang sering kali datang terlambat atau tidak cukup jelas.
Jika pemerintah tidak menyediakan skema pembiayaan yang memadai, maka desa perlu mencari alternatif lain, di sinilah BUMDes bisa berperan.
“Kalau pemerintah tidak memberikan kepastian, ya kita harus cari jalan lain. Begitu bicara desa, pasti ingat ada BUMDes. Biasanya, orang berpikir, ‘udah lah, gampang, pakai BUMDes aja buat pendanaan,’” ujar Prof. Faroby.
Dalam teori, skema ini terdengar menjanjikan. BUMDes, sebagai badan usaha milik desa, bisa bekerja sama dengan kelompok tani (Gapoktan) untuk menyediakan modal pembelian pupuk.
Nantinya, petani bisa menebus pupuk dengan sistem pembayaran yang lebih fleksibel, misalnya setelah panen.
Dengan cara ini, petani tidak terbebani di awal musim tanam dan tetap bisa mendapatkan pupuk yang dibutuhkan tanpa harus meminjam ke rentenir atau pihak lain yang mungkin menawarkan bunga tinggi.
Namun, di balik skema yang tampak menjanjikan ini, ada satu kekhawatiran besar: potensi politisasi.
“Nanti pasti ada yang bilang, ‘wah, kalau gabung BUMDes, bisa dipolitisasi.’ Biasanya kalau sudah urusan politik di desa, yang dekat dengan kepala desa bisa dapat pupuk lebih mudah, bisa dibiayai dulu, sementara yang lain malah kesulitan. Kalau sudah begini, ya nggak adil,” lanjutnya.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, sebab di banyak daerah, distribusi pupuk bersubsidi memang kerap menjadi alat kepentingan politik lokal.
Jika mekanisme ini tidak dikelola dengan transparan, bukan tidak mungkin BUMDes justru menjadi sarana untuk memperkuat kekuasaan segelintir orang di desa, alih-alih membantu petani secara merata.
Meski begitu, bukan berarti skema ini tidak bisa diterapkan, menurut Prof. Faroby, kuncinya ada pada profesionalisme dan transparansi pengelolaan.
Jika BUMDes bisa menjalankan perannya dengan baik, maka petani tidak perlu khawatir soal akses pupuk dan dapat fokus pada produksi.
“BUMDes ini sebenarnya bisa banget jadi solusi, asal dikelola dengan profesional. Kalau ada aturan yang jelas, misalnya margin keuntungan yang wajar dan transparan, ya petani juga nggak akan merasa dirugikan. Semua bisa jalan,” katanya.
Saat ini, BUMDes memang semakin banyak dilibatkan dalam berbagai program strategis desa. Mulai dari pengelolaan pasar desa, penyediaan bahan pokok, hingga program makan siang bergizi gratis yang sedang dicanangkan pemerintah.
Dengan tren ini, bukan tidak mungkin pemerintah ke depan akan lebih serius mengarahkan peran BUMDes dalam pembiayaan pupuk bersubsidi.
Namun, ada satu tantangan lain yang tak kalah penting: kesiapan BUMDes itu sendiri. Tidak semua BUMDes sudah memiliki sistem yang kuat.
Banyak yang masih menghadapi kendala dalam manajemen dan belum memiliki pengalaman dalam mengelola skema pembiayaan untuk sektor pertanian.
Jika BUMDes dipaksakan tanpa kesiapan yang matang, justru bisa menimbulkan masalah baru.
“Sekarang ini apa-apa BUMDes. Semua hal dilempar ke BUMDes. Tapi kalau nggak dikelola secara profesional, ya nanti jadi beban juga. Harapannya, BUMDes ini bisa benar-benar menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan petani, bukan malah menambah masalah,” tegas Prof. Faroby.
Ke depan, keputusan ada di tangan pemerintah. Apakah BUMDes akan benar-benar dijadikan solusi dalam pembiayaan pupuk bersubsidi atau tidak, semua tergantung pada regulasi yang akan diterapkan.
Jika pemerintah serius, maka mekanisme yang jelas dan sistem pengawasan yang ketat harus segera disiapkan.
Tanpa itu, petani tetap akan berada dalam ketidakpastian, dan harapan mereka terhadap BUMDes bisa berubah menjadi sekadar mimpi yang tak pernah terwujud.