Sabtu, 19 April 2025


Pemerintah Diminta Perkuat Pendampingan dan Skema Permodalan Kelompok Tani

05 Mar 2025, 11:48 WIBEditor : Gesha

Permodalan masih jadi batu sandungan bagi kelompok tani! Tanpa pendampingan dan skema yang jelas, bantuan justru bisa jadi bumerang.

TABLOIDSINARTANI.COM -- Permodalan masih jadi batu sandungan bagi kelompok tani! Tanpa pendampingan dan skema yang jelas, bantuan justru bisa jadi bumerang. 

Permodalan masih menjadi tantangan utama dalam pengembangan kelompok tani di Indonesia. 

Hal ini diungkapkan oleh Prof. Dr. A. Faroby Falatehan, Guru Besar Kebijakan Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Berkelanjutan IPB University, yang menyoroti bahwa aspek permodalan lebih kompleks dibandingkan legalitas.  

"Kalau legalitas, mungkin dari pemerintah bisa mempercepat, atau desa bisa membantu. Tetapi yang paling berat adalah dari segi permodalan," ujar Prof. Faroby dalam hasil kajiannya.  

Menurutnya, selama ini pemerintah telah memberikan berbagai bentuk bantuan kepada kelompok tani, termasuk dalam program rehabilitasi lahan. 

Namun, bantuan tersebut sering kali menghadapi tantangan di tingkat implementasi, terutama dalam hal pengelolaan keuangan dan tanggung jawab administratif.  

Tantangan dalam Pengelolaan Dana

Salah satu kendala terbesar dalam permodalan kelompok tani adalah ketidakjelasan dalam pertanggungjawaban dana yang diberikan. 

Prof. Faroby mencontohkan, ketika sebuah kelompok tani menerima bantuan dana Rp100 juta, euforia biasanya muncul di awal. 

Namun, begitu terjadi masalah, muncul pertanyaan besar, siapa yang bertanggung jawab?

"Apakah ketua kelompok? Apakah seluruh anggota? Karena yang mendapat bantuan itu adalah masyarakat, bukan kelompok tani secara khusus," jelasnya.  

Ia menjelaskan bahwa kebanyakan kelompok tani di Indonesia masih berorientasi pada kebersamaan, bukan pada prinsip bisnis.

Akibatnya, ketika dana masuk, mekanisme pengelolaan sering kali belum jelas, dan jika terjadi kendala dalam pengembalian atau pemanfaatan dana, sulit menentukan siapa yang harus menanggung risikonya.

"Kalau ketuanya yang bertanggung jawab, bisa jadi tidak adil karena ia hanya berperan sebagai perantara. Tapi jika tanggung jawab diberikan kepada masing-masing anggota, mekanisme pengembalian harus benar-benar jelas. Ini yang sering menjadi dilema," tambahnya.  

Masalah ini bukan sekadar teori, tetapi sudah banyak terjadi di lapangan.

Salah satu contoh konkret yang disampaikan oleh Prof. Faroby terjadi di Pulang Pisau, di mana terdapat rencana pemberian dana kepada Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).

Untuk menghindari potensi penyalahgunaan, dana ini direncanakan akan dikelola melalui Koperasi Kredit Union. 

Namun, skema ini pun menghadapi tantangan baru. Jika dana langsung diberikan ke koperasi, muncul pertanyaan, siapa yang akan bertanggung jawab jika ada anggota yang tidak membayar?  

"Kalau ada anggota yang nakal, siapa yang harus menanggung? Apakah pengelola koperasi? Atau jika dana sudah dikembalikan oleh anggota tetapi malah disalahgunakan oleh pengelola, itu jadi masalah lain lagi," terangnya.  

Persoalan ini menunjukkan bahwa tanpa mekanisme yang jelas, bantuan modal justru bisa menjadi bumerang bagi kelompok tani.

Perlunya Pendampingan

Melihat berbagai tantangan ini, Prof. Faroby menekankan bahwa pendampingan harus menjadi prioritas utama sebelum pemerintah memberikan bantuan modal kepada kelompok tani.  

"Pendampingan ini sangat penting, bukan hanya untuk aspek administrasi, tetapi juga untuk pengelolaan keuangan. Pendamping bisa membantu kelompok tani dalam menyusun dokumen legal, memastikan mereka memahami alur keuangan, dan memberikan edukasi terkait bisnis pertanian," ujarnya.  

Ia menjelaskan bahwa selama ini, banyak kelompok tani yang kesulitan dalam mengurus legalitas karena kurangnya pendampingan.

Padahal, jika ada pihak yang membantu mereka dalam menyusun dokumen, membuat kelompok tani menjadi formal bukanlah hal yang sulit.  

"Misalnya, ada pendamping yang datang dan membawa berkas, lalu membantu petani untuk melengkapi dokumen agar kelompok tani mereka resmi terdaftar. Itu sebenarnya bisa dilakukan, tetapi harus ada pihak yang aktif mendampingi," katanya.  

Pendampingan juga diperlukan dalam hal pengelolaan keuangan.

Tanpa pemahaman dasar mengenai akuntansi dan tata kelola dana, bantuan yang diberikan kepada kelompok tani berisiko disalahgunakan atau tidak dikelola dengan baik.  

Mencari Skema Permodalan

Selain pendampingan, skema permodalan yang ideal juga perlu dipertimbangkan agar bantuan modal tidak menimbulkan masalah baru. 

Sebagai perbandingan, Prof. Faroby menyebut Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai contoh skema yang lebih jelas dalam tanggung jawab pengembalian.  

"Kalau KUR, perorangan yang bertanggung jawab. Kalau ada masalah, itu urusan individu. Tapi kalau untuk kelompok tani, sistemnya berbeda dan harus dikelola dengan baik," katanya.  

Dalam KUR, setiap petani yang menerima pinjaman bertanggung jawab secara pribadi untuk mengembalikan dana.

Namun, dalam sistem bantuan kelompok tani, tanggung jawab kolektif sering kali menjadi masalah karena kurangnya mekanisme yang jelas dalam pembagian kewajiban.  

Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah mengembangkan model permodalan yang lebih adaptif terhadap kondisi di lapangan, misalnya dengan mengombinasikan bantuan dana dengan sistem tanggung jawab bertahap.  

"Misalnya, dana diberikan secara bertahap, dan setiap tahap harus memenuhi kriteria tertentu sebelum bisa mengakses tahap berikutnya. Ini bisa membantu memastikan bahwa dana benar-benar digunakan untuk tujuan yang tepat," usulnya.  

Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah lebih aktif menggandeng koperasi atau lembaga keuangan mikro dengan mekanisme pengawasan yang ketat agar dana tetap aman dan tidak disalahgunakan.  

Reporter : Nattasya
BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018