Gapoktan kini ditunjuk sebagai penyalur pupuk bersubsidi lewat Perpres 6/2025. Tapi, ada dilema besar! Regulasi melarang mereka ambil untung.
TABLOIDSINARTANI.COM -- Gapoktan kini ditunjuk sebagai penyalur pupuk bersubsidi lewat Perpres 6/2025. Tapi, ada dilema besar! Regulasi melarang mereka ambil untung.
Pemerintah terus berupaya menyempurnakan sistem distribusi pupuk bersubsidi agar lebih transparan dan tepat sasaran.
Salah satu langkah besar yang diambil adalah penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 6 Tahun 2025, yang mengubah mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi dengan melibatkan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan), serta pengecer sebagai penyalur resmi.
Regulasi ini menandai pergeseran besar dalam tata kelola pupuk bersubsidi yang sebelumnya bergantung pada distributor dan kios pengecer.
Namun, perubahan ini juga menimbulkan sejumlah tantangan, terutama terkait kedudukan hukum Gapoktan sebagai badan hukum perkumpulan yang tidak boleh mengambil keuntungan dalam aktivitasnya
Reformasi Penyaluran Pupuk
Di bawah konsep baru yang dirancang Kementerian Pertanian (Kementan), sistem distribusi pupuk bersubsidi kini mengandalkan titik bagi yang dikelola oleh Pemerintah Desa (Pemdes), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Kelompok Tani (Poktan), dan Koperasi (Kop).
Perubahan ini bertujuan untuk menghilangkan ketergantungan pada distributor dan kios pengecer, yang selama ini memiliki peran besar dalam penyaluran pupuk tetapi juga berpotensi menyebabkan ketimpangan akses dan ketidaktepatan sasaran.
Langkah reformasi lainnya mencakup:
A. Penghapusan stok minimum, yang digantikan dengan mekanisme Service Level Agreement (SLA) penyaluran.
B. Distribusi berbasis data spasial lahan, sehingga kebutuhan pupuk yang diajukan petani dapat dikonfirmasi secara akurat.
C. Penghapusan Pergub/Perbup terkait tata kelola pupuk, agar sistem lebih seragam di seluruh wilayah.
D. Penggunaan KTP dan biometrik dalam proses distribusi, guna memastikan hanya petani yang berhak yang menerima pupuk bersubsidi.
Menurut Prof. Dr. A. Faroby Falatehan, Guru Besar Kebijakan Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Berkelanjutan IPB University, pendekatan baru ini bisa memberikan dampak positif jika didukung oleh infrastruktur dan regulasi yang jelas.
“Dengan sistem berbasis data spasial dan distribusi langsung ke titik bagi, diharapkan pupuk dapat lebih cepat sampai ke tangan petani. Namun, masih ada kendala regulasi yang harus diselesaikan, terutama terkait peran Gapoktan,” jelasnya.
Tantangan Regulasi
Dalam Pasal 12 Ayat 5 Perpres No. 6/2025, pemerintah menetapkan bahwa Gapoktan, Pokdakan, dan pengecer memiliki kewenangan dalam menyalurkan pupuk bersubsidi langsung ke petani dan pembudidaya ikan.
Namun, di sinilah persoalan hukum muncul. Gapoktan, berdasarkan Permenkumham No. 3 Tahun 2016, adalah badan hukum perkumpulan yang bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Salah satu ketentuan penting dalam regulasi ini adalah Gapoktan tidak boleh mengambil keuntungan dalam aktivitasnya.
Sementara itu, dalam praktiknya, penyaluran pupuk bersubsidi merupakan transaksi jual-beli, di mana distributor dan kios pengecer selama ini mendapatkan margin keuntungan dari setiap penjualan.
Jika mekanisme ini kini dialihkan ke Gapoktan, maka potensi benturan regulasi sangat besar.
“Jika Gapoktan mengambil keuntungan dari distribusi pupuk, maka itu bertentangan dengan status hukumnya sebagai badan hukum perkumpulan,” tegas Prof. Faroby.
“Jika tetap dipaksakan tanpa revisi regulasi, ada risiko Gapoktan dianggap melanggar hukum, " tambahnya.
Agar implementasi kebijakan ini berhasil, diperlukan sinkronisasi regulasi, revisi mekanisme distribusi, dan pengawasan ketat agar sistem yang baru tidak hanya lebih cepat, tetapi juga mematuhi ketentuan hukum yang berlaku.
"Jika tidak, alih-alih memperbaiki sistem distribusi pupuk, kebijakan ini justru berpotensi menimbulkan permasalahan baru di lapangan, " tukasnya.