Petani sedang tanam padi
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Tata kelola pupuk subsidi mengalami perubahan cukup siginifikan. Selain jalur distribusi yang dipangkas, petani melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) juga bisa menjadi penyalur pupuk bersubsidi. Target sasaran baik petani maupun komoditas juga bertambah. Bagaimana petani menyikapi perubahan kebijakan tersebut?
Sebagai sarana produksi vital tani, petani memang sangat membutuhkan pupuk untuk kelangsungan usaha tani. Namun disinyalir petani kerap terkendala jumlah yang terbatas dan sulit didapatkan di pasar.
“Selama ini rantai birokrasi penyaluran pupuk bersubsidi dari hulu hingga hilir diduga menjadi kendala tersendiri, sehingga perlu kebijakan khusus untuk mempermudah petani dalam memperolehnya,” kata Otong Wiranta, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat saat Sosialisasi Tata Kelola Pupuk Bersubsidi, di Jakarta, Rabu (12/3).
Dengan terbitnya Perpres No. 6 Tahun 2025 yang memangkas rantai birokrasi penyaluran pupuk bersubsidi menjadi berita menggembirakan buat petani. Karena itu, Otong berharap nantinya petani akan lebih mudah dalam memperoleh pupuk bersubsidi.
Tiga Aspek Penting
Setelah terbitnya Perpes, Otong mengungkapkan, ada tiga hal yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah, dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Dalam aspek perencanaan proses sosialisasi sangat penting dalam penyaluran pupuk bersubsidi. “Dengan sosialisasi diharapkan petani bisa mengerti dengan perubahan regulasi dan syarat untuk memperoleh pupuk subsidi,” ujarnya.
Mengambil contoh petani di Jawa Barat, Otong mengatakan dengan jumlah sebanyak 3.665.050 orang, kondisi petani mencapai 36,30 persen berusia 45-59 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun mencapai 28,53 persen. Jika dilihat dari pendidikannya, maka 37 persen atau 1,3 juta petani hanya tamatan SD. Padahal di sisi lain, petani memang harus mengerti mengenai regulasi penyaluran subsidi yang baru ini.
Di sisi lain, Otong juga menyoroti sistem pendataan penerima manfaat pupuk subsidi melalui e RDKK. Mengutip data Ombudsman, ternyata pemutahiran data melalui Input E-Alokasi yang berdasarkan E Rdkk yang seharusnya dibuat kelompok tani yang banyak dibantu penyuluh masih menyisakan banyak masalah.
Diantaranya, banyak petani yang terdaftar, tapi tidak menebus; data NIK petani tidak singkron dengan Dukcapil; petani terdaftar ganda dalam e- Alokasi. Kendala lainnya adalah server sering down, sehingga tenggang waktu input data mepet. Banyak penyuluh harus menginpit data tengah malam untuk mempermudah mengirim data.
Mirisnya lagi, tidak adanya anggaran khusus untuk pendataan termasuk insentif bagi penyuluh. “Siapa yang bertanggung jawab aspek perencanaan. Selama ini penyuluh sering disudutkan berbagai pihak jika data E Alokasi tidak sempurna, sementara penyuluh juga banyak dibebani pekerjaan lainnya,” katanya.