IPB University soroti celah bahaya dalam penunjukan penyalur pupuk subsidi yang dinilai belum siap. Sistem distribusi yang timpang bisa jadi bumerang bagi petani. Ini solusi yang ditawarkan!
TABLOIDSINARTANI.COM, Bogor -- IPB University soroti celah bahaya dalam penunjukan penyalur pupuk subsidi yang dinilai belum siap. Sistem distribusi yang timpang bisa jadi bumerang bagi petani. Ini solusi yang ditawarkan!
IPB University menyampaikan peringatan keras soal potensi bahaya sistemik dalam kebijakan terbaru penyaluran pupuk subsidi pasca terbitnya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 15 Tahun 2025.
Dalam forum diskusi nasional bertajuk “Tantangan dan Peluang Kebijakan Subsidi Pupuk pada Sektor Pertanian Pasca Terbitnya Permentan 15/2025”, IPB menilai penunjukan pihak penyalur yang belum siap justru bisa menjadi titik rawan dalam distribusi pupuk bersubsidi ke petani.
“Berdasarkan uji kesiapan yang kami lakukan terhadap Gapoktan di wilayah amatan, sebanyak 79,6 persen dinyatakan tidak siap menjadi penyalur pupuk subsidi, dan hanya 20,4 persen dinilai siap, itu pun dengan pendampingan,” ujar Prof. Dr. Faroby Falatehan, Ketua Prodi Magister MPD FEM IPB, dalam konferensi pers di IPB Convention Centre.
Menurutnya, ketidaksiapan ini bukan hal sepele. Gapoktan yang diuji rata-rata tidak memenuhi indikator dasar seperti permodalan, legalitas, manajemen administrasi, pengelolaan keuangan, distribusi pupuk, hingga sarana teknologi informasi.
“Jika kebijakan ini dipaksakan tanpa pembinaan serius, kita hanya akan mengganti aktor tetapi mewarisi masalah lama dalam distribusi pupuk. Bahkan bisa menambah keruwetan baru,” katanya.
IPB juga mencermati keberadaan 26.576 koperasi yang kini masuk ke sektor pupuk. Sebagian besar di antaranya adalah koperasi yang baru berdiri, termasuk Koperasi Desa Merah Putih.
“Koperasi-koperasi ini masih membutuhkan sosialisasi regulasi, pelatihan mekanisme distribusi, serta penguatan sarana dan prasarana,” lanjut Faroby.
Tak hanya itu, IPB juga menyoroti potensi konflik antarpenyalur pupuk bersubsidi akibat pembagian wilayah dan alokasi yang belum terstandarisasi.
“Penambahan pihak penyalur seperti Gapoktan, Pokdakan, dan koperasi bisa memicu mundurnya kios pengecer eksisting. Alokasi yang biasanya mereka pegang, kini harus dibagi. Tanpa aturan main yang jelas, konflik horizontal tak terelakkan,” ujarnya.
Karena itu, IPB mengusulkan sejumlah solusi strategis. Di antaranya, pembentukan satuan tugas pembinaan penyalur pupuk bersubsidi, penyusunan petunjuk teknis penunjukan penyalur, hingga penetapan indikator teknis kesiapan seperti legalitas usaha, modal, volume penyaluran, dan pengalaman distribusi.
“Perlu ada kejelasan. Siapa yang boleh jadi penyalur, apa syarat minimalnya, dan bagaimana mekanisme evaluasi kinerjanya,” tegas Faroby.
Dari sisi permodalan, IPB menemukan bahwa 83,5 persen Gapoktan di wilayah amatan belum mampu memenuhi indikator kemampuan finansial.
Karenanya, ia merekomendasikan integrasi program Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke dalam skema dukungan, serta skema penerbitan bank garansi oleh pemerintah sebagai bentuk afirmasi dukungan terhadap penyalur pemula
Masalah lainnya adalah verifikasi dan validasi laporan penyaluran. Faroby menjelaskan bahwa hanya 19,4 persen Gapoktan yang mampu mengelola administrasi keuangan secara memadai.
“Sebagian besar butuh pendampingan menyeluruh, dari tata kelola hingga pemahaman pelaporan,” katanya.
Maka, IPB mengusulkan penyederhanaan prosedur pelaporan bagi penyalur pemula, serta pelaksanaan surveillance berkala untuk menjaga akuntabilitas dan mencegah penyimpangan.
“Publik tentu menyambut baik lahirnya Permentan 15/2025 yang merupakan turunan dari Perpres 6/2025. Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa pelaksanaannya membutuhkan kesiapan teknis dan kelembagaan yang sangat matang,” ujar Prof. Faroby lagi.
Ia menggarisbawahi bahwa Petani Penerima Pupuk Bersubsidi (P3B) sebagai penerima manfaat program harus tetap menjadi fokus utama. “Kalau penyalurnya tidak siap, lalu petani ke mana harus mengadu saat pupuk tidak sampai?” tukasnya.
IPB juga mendesak pemerintah untuk segera memetakan saluran distribusi pupuk bersubsidi paling efisien berdasarkan karakteristik wilayah dan pelaku usaha. “Jangan memaksakan satu model untuk semua daerah. Distribusi pupuk itu sensitif dan harus kontekstual,” ujarnya menutup.