Subsidi Pupuk masih dibutuhkan petani untuk bisa terus berjalan
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta --- Agar usaha tani terus berjalan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian tetap memberikan subsidi pupuk. Namun, pupuk subsidi yang dikeluarkan jumlahnya yang terbatas, maka petani harus bisa memanfaatkan sebaik mungkin.
Berdasarkan DIPA 2019, anggaran untuk subsidi pupuk 2019 sebesar 9,55 juta ton, sedangkan dari Permentan No.47/2018 sebesar 8,874 juta ton. Dengan rincian dari DIPA 2019 adalah urea 4,1 juta ton, SP 36 850 ribu ton, ZA 1,05 juta ton, NPK 2,55 juta ton, dan organik 1 juta ton. Kalau rincian dari Permentan No.47/2018 adalah urea 3,825 juta ton, SP 36 779 ribu ton, ZA 996 ribu ton, NPK 2,326 juta ton dan organik 948 ribu ton.
“Ini berbeda karena DIPA berdasarkan serapan tahun sebelumnya, sedangkan Permentan berdasarkan proposional luas baku lahan,” kata Direktur Pupuk dan Pestisida, Muhrizal Sarwani saat Forum Diskusi Agrina ‘Kepastian Petani Mendapatkan Pupuk Bersubsidi’ di Jakarta, Kamis (2/5).
Permentan mengajukan subsidi pupuk melihat dari luas baku areal persawahan saat ini yang semakin berkurang. Berdasarkan data dari BPN dari tahun 2013-2018 terjadi pengurangan sebanyak 689.519 hektar, sedangkan data berdasarkan konfirmasi gubernur/bupati seluruh Indonesia terjadi pengurangan sebanyak 865.063 hektar.
“Kalau Permentan No.47/2018 mengacunya terhadap luas lahan baku dari BPN, secara nasional akan terjadi kekurangan alokasi pupuk sebesar 676 ribu ton. Makanya kalau DIPA mengacunya kepada serapan tahun sebelumnya. Tetapi Permentan dapat disesuaikan dengan anggaran apabila diperlukan, ” jelas Muhrizal.
Pupuk subsidi yang dikeluarkan jumlahnya yang terbatas, maka petani harus bisa memanfaatkan sebaik mungkin. Selain itu, petani juga bisa memanfaatkan pupuk organik untuk memulihkan kondisi lahan.
“Walau ketersediaan pupuk bersubsidi masih kurang, tapi kalau tidak disediakan, petani bisa komplen. Sebenarnya, pupuk bersubsidi yang dibutuhkan sebanyak 12 juta ton. Namun yang disediakan hanya 8,847 juta ton,” tegasnya.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir mengatakan pupuk tetap harus disubsidi agar petani terus bersemangat dalam berusaha tani, apabila tidak ada subsidi maka tidak ada kontrol dari pemerintah dan harga pupuk akan menjadi tidak terkendali.
“Kebijakan pemberian subsidi pupuk bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan pupuk oleh petani sesuai dengan rekomendasi (Permentan 47/2018 tentang Alokasi dan HET Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian),” jelasnya.
Tidak hanya itu, kebijakan subsidi pupuk juga bertujuan untuk mendukung penerapan pemupukan sesuai dosis yang direkomendasi oleh kementarian teknis sehingga diharapkan produktivitas usaha tani dan pendapatan petani meningkat.
“Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang sangat menentukan produksi dan produktivitas pertanian. Ketersediaan pupuk di lapangan baik dari segi kualitas, kuantitas dan harga yang terjangkau menjadi salah satu syarat yang harus dapat dijamin oleh pemerintah,” terang Winarno.
Berdasarkan RDKK
Dalam mencukupi kebutuhannya petani perlu membuat Rencana Definitif Kelompok (RDK) yang merupakan kebutuhan setahun, dan Recana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) merupakan kebutuhan semusim.
Winarno menjelaskan setiap tahun kelompok tani membuat RDK yang merupakan rencana kerja usahatani, berisi rincian kegiatan tentang sumberdaya dan potensi wilayah, sasaran produktivitas, pengorganisasian dan pembagian kerja serta kesepakatan bersama dalam pengelolaan usahatani.
RDK dijabarkan lebih lanjut menjadi RDKK yang mencakup luas lahan, jenis tanaman, waktu tanam, dan kebutuhan sarana produksi pertanian, apabila ada pengurangan luas lahan, dan alih komoditi akan diketahui setiap musim.
“Tetapi terkadang data RDKK tidak sama dengan alokasi pupuk yang disediakan pemerintah. Hal ini terjadi pembulatan angka. Misalnya seorang petani memiliki tanah seluas 0,8 ha ditulis di RDKK menjadi 1 ha),” jelas Winarno.
Pupuk bersubsidi terkadang alokasinya tidak sesuai bukan hanya dari masalah RDKK saja. Masalah transisi pemerintah juga pernah dialami dalam penyaluran pupuk bersubsidi.
Winarno menceritakan bahwa di tahun 2014 pernah terjadi permasalahan dalam alokasi pupuk karena transisi pemerintah. Seharusnya diperlukan 9,5 juta ton dengan subsidi pupuk senilai Rp 18 trilyun yang hanya dapat 7,76 juta ton sesuai anggaran yang ada saat itu.
“Hal ini menyebabkan alokasi pupuk subsidi petani menjadi berkurang 1,74 juta ton, sehingga kekurangan pupuk bersubsidi terjadi di seluruh Indonesia kerena alokasi yang sudah berkurang dibagi ke 34 provinsi sesuai Permentan tentang Alokasi Pupuk Bersubsidi dan HET,” jelasnya.
Senior Vice Presiden Distribusi PT Pupuk Indonesia, Jajat Sudrajat menambahkan, pupuk bersubsidi hanya untuk petani yang tergabung dalam kelompok tani. “Kami hanya menjalankan tugas dari pemerintah untuk menyalurkan pupuk bersubsidi, sesuai dengan alokasi yang sudah ditetapkan. Untuk pendistribusian pupuk sesuai prinsip 6 Tepat, yaitu tepat waktu, tepat jumlah, tepat tempat, tepat jenis, tepat mutu, dan tepat harga,” jelasnya.
Sesuai ketentuan pemerintah, lanjut Jajat, pihaknya diwajibkan menyimpan stok sampai menuhi kebutuhan 2 minggu ke depan. Tapi, praktek di lapangan, pihaknya menyiapkan stok setara dengan stok untuk satu bulan ke depan.
“Hal itu kami lakukan untuk mencegah terjadinya kelangkaan pada saat terjadi lonjakan permintaan di musim tanam,” katanya.