TABLOIDSINARTANI.COM, Makassar --- Komoditas mete menjadi salah satu andalan pertanian Sulawesi Selatan. Selain memiliki pasar yang luas di dalam negeri, mete juga menarik pasar ekspor. Hal tersebut telah dirasakan pelaku usaha mete, salah satunya PT Bunly Abadi Bersama yang memproduksi 1 ton mete untuk dijual mentah dan olahan dengan merek Bunly.
Diungkapkan pemilik PT Bunly Abadi Bersama, Lly Nuryah bahwa produknya lebih banyak penjualan dengan ukuran kemasan dan banyak diminati dengan berbagai varian rasa.
Bukan hanya enak dan gurih, mete Bunly diakui LIy juga sehat karena diolah dengan cara khusus sehingga tidak mengandung kolesterol.
Setelah penyortiran bahan baku, mete dicuci bersih dengan air mengalir, kemudian direndam dengan air mendidih yang dicampur garam kurang lebih 10-15 menit. Fungsinya untuk mengeluarkan getah yang melekat pada biji mete.
"Kami tidak pakai pengawet. Metenya direndam di air mendidih sampai keluar getahnya. Insya Allah aman, jadi tantangan juga buat kami untuk menjelaskan, karena sudah ada mindset bahwa makan kaca mete menyebabkan peningkatan kolesterol," sebut Lly Nuryah..
Liy mengaku permintaan mete cukup besar. Bahkan ia direkomendasikan oleh Kementerian Perdagangan dan Bank Indonesia untuk business matching dengan buyer luar negeri yang tertarik dengan produknya.
"Pertama karena pengemasan produknya sudah standar ekspor. Meskipun kecil, kami sudah berani melakukan. Kami juga difasilitasi dinas-dinas di Sulsel untuk perizinan yang ada. Kami berterima kasih, dengan itu usaha kami bisa melangkah leluasa karena perizinan yang sudah berstandar," ujarnya.
Dengan peluang pasar sudah ada, ia mengaku terkendala rumah produksi dan peralatannya untuk scale-up atau memperluas dan meningkatkan kapasitas produksi.
"Standar saya sudah dipenuhi, memang infrastruktur dan alat harus selaras. Saya butuh infrastruktur untuk mini pabrik setidaknya. Kebetulan lahan sudah ada, saya butuh alat produksi mesin yang tidak pakai manual untuk meningkatkan kecepatan atas permintaan yang ada," bebernya.
Ia juga menyampaikan kendala, terutama hasil produk yang ingin diekspor. Selaku calon eksportir dengan jumlah tidak besar, biaya kontainer mahal untuk direct langsung dari Makassar ke negara tujuan yang ada. Sehingga, perlu regulasi yang mendukung.
Demikian juga lahan-lahan mete untuk diremajakan. Selama ini didominasi sawit, kakao, sementara kacang mete berkurang, termasuk untuk pembibitannya.
"Itu kendala kami sebagai pelaku usaha kacang mete, permintaan sebenarnya banyak. Hanya saja kami takut mengiyakan. Karena kapasitas yang dihasilkan petani itu tidak mencukupi," ungkapnya.
Masalah lainnya, pengusaha besar langsung mengambil mete ke petani, sedangkan pelaku IKM secara modal tidak besar, tidak mendapatkan bahan baku yang cukup, yang pada akhirnya mendapatkan dengan harga mahal.
"Sehingga untuk kami kirim ke luar jatuhnya agak mahal, kita bersaing dengan Vietnam dan Thailand. Bahkan sebenarnya bahan bakunya dari kita Indonesia. Jadi dia impor kembali ke kita, kenanya mahal. Jadi saya saya berharap untuk bisa diremajakan kembali kebun mete, sehingga harga kami tidak terlalu tinggi jadi bisa bersaing," pungkasnya.