Oleh: Memed Gunawan
TABLOIDSINARTANI.COM, Garut -- Garut yang semula dianggap sebuah kota yang serba tanggung, dia berada di kelokan yang tidak begitu menguntungkan, jalannya tidak memberikan akses yang baik bagi wisatawan, obyek wisatanya kurang memikat dan fasilitasnya terbatas, sejak tahun 2000-an perubahan terjadi di bidang wisatanya. Wisata alam, sejarah, religi dan kuliner mulai bangkit. Semua daerah ibarat keranjingan untuk menikmati jenis wisata ini, dan tentu saja permintaan yang begitu besar itu dimanfaatkan oleh pemerintah daerah. Jalan raya nasional meningkat kualitasnya, fasilitas wisata meningkat dan sejak itu masyarakat berduyun-duyun memanfaatkan perubahan yang cukup drastis ini.
Apa yang memikat yang ditawarkan Garut? Makanan khas Garut hasil produksi agroindustri sudah lama terkenal, hasil kerajinan yang berkualitas baik sudah tembus ke pasar luar negeri, peninggalan sejarahnya cukup menarik untuk dipelajari dan kondisi alamnya masih asli dan indah.
Jalan menurun dari arah Bandung ke jalan nasional lintas selatan di kawasan Nagreg selalu jadi berita yang sedap. Berbagai kejadian yang memakan korban lalulintas terjadi di kawasan ini, apakah karena rem blong, longsor atau jalan licin yang disebabkan kurang memadainya kondisi jalan. Lalu bagaimana kondisinya sekarang? Sangat jauh berbeda. Jalan satu arah yang dibuat khusus untuk menghindari kemacetan dan kerawanan lalu lintas di kawasan ini telah banyak mengubah pemikiran orang tentang Garut dan daerah sekitarnya.
Candi Cangkuang
Tak hanya Jawa Tengah, Jawa Barat juga punya candi. Salah satunya adalah Candi Cangkuang di Kampung Pulo, Garut yang asal-usulnya masih menjadi tanda tanya. Candi Cangkuang merupakan candi Hindu yang berlokasi di Kampung Pulo, Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut. Candi ini pertama kali ditemukan tahun 1966 oleh tim peneliti yang salah satunya bernama Uka Tjandrasasmita. Penelitian ini dilakukan berdasarkan laporan dalam buku sejarah mengenai adanya arca Siwa dan makam Muslim di bukit Kampung Pulo.
Danau yang mengelilingi Kampung Pulo di mana Candi Cangkuang berada berukuran sedang, tetapi cara mencapai ke Kampung Pulo merupakan sensasi tersendiri. Rakit yang dibuat dari puluhan bambu yang diikat kuat dan di tengahnya dibuatkan saung untuk melindungi penumpagnya dari panas dan hujan itu begitu mengesankan. Pengemudinya cukup seorang saja sehingga dia cukup sibuk lari ke depan dan ke belakang untuk mengatur supaya rakit menuju sasaran yang tepat di seberang sana.
Di Kampung Pulo, sebuah pemandangan yang indah dengan suasana yang masih sangat alami menyambut pengunjung. Tatapan mata para pedagang sungguh terlihat mengharapkan kita yang datang akan membeli dagangannya. Kerajinan khas Garut, makanan, emping, keripik dan tentu saja kelapa muda sudah teronggok di sepanjang jalan yang dilewati pengunjung. Beberapa pengunjung yang sudah datang lebih dulu dan menginap di pulau yang asri ini masih duduk mengelompok sambil minum kopi siang hari. Jam menunjuk ke angka 12 lebih sedikit. Sebenarnya sudah waktu untuk makan siang, tetapi waktu makan siang dan perjalanan ke candi tidak bisa dilakukan bersamaan, jadi makan terpaksa ditunda sampai beberapa waktu hingga bisa sampai di kota Garut.
Di Cangkuang itu ada sebuah arca Siwa dan makam Arif Muhammad. Ini cukup mengherankan karena Muhammad sudah jelas nama Muslim, sedangkan Syiwa nama dewa dalam agama Hindu. Apa pun, hal ini menunjukkan keragaman agama sudah tercipta sejak dahulu kala. Seperti juga dalam pemerintahan Majapahit, di mana Hindu dan Budha, kemudian Islam pada era sesudah Islam masuk ke tanah Jawa hidup berdampingan dengan damai.
Kebun Bunga Mawar
Perjalanan menanjak menuju lereng gunung Kamojang dilalap oleh minibus Hi Ace yang bermesin perkasa ini. Walaupun badannya bongsor tetapi supir dengan lincah terus membating setir ke kiri dan ke kanan memilih jalan yang lebih mulus, walaupun kadang sedikit pelan saat berpapasan dengan mobil lain. Prinsipnya tetap saja berebut jalan.
BACA JUGA:
Kelokan meliuk mengganti pemandangan sawah dan ladang yang menghampar. Persawahan, lalu pohon tinggi berjajar, lalu perumahan dan lahan pertanian yang baru saja diolah, warnanya memerah melukis alam sepanjang perjalanan. Akhirnya sebuah pintu masuk yang sempit mengantarkan minibus ke halaman berbatu sebuah kantor sederhana sebuah villa, Kebun Bunga Mawar, yang kebetulan tanaman mawarnya sedang dipangkas sehingga tak kelihatan betul bunga mawarnya. Tetapi hanya satu kata yang keluar dari mulut kita, INDAH.
Kabut senja mulai memenuhi taman yang luasnya tidak kurang dari 7 hektare itu. Rumput yang terpelihara dan dipotong pendek, berombak memenuhi taman ukuran luas tak terkira. Tanaman mawar baru memunculkan bunga berukuran kecil yang beraneka warna, tanaman lainnya beraneka bunga dipagarai pematang dari bunga cana yang sedang semerbak berbunga kuning dan merah.
Cahaya lembayung sedang memuncak memenuhi langit dan gunung, lalu perlahan mulai gelap menutupi kawasan kebun yang terasa semakin sepi. Villa yang terbuat dari kayu terasa hangat walaupun udara di sekitarnya sejuk mendekati dingin. Secangkir kopi dan beberapa potong pisang goreng dan roti panggang menghangatkan badan dan suasana.
Pagi masih basah dan berkabut putih. Jam 6 sudah terhidang makan pagi yang hangat. Sederhana untuk ukuran hotel, tapi terasa pas untuk suasana kebun dan dinginnya pagi. Nasi goreng dengan telur mata sapi, roti bakar dengan mentega, jam atau pilihan lain. Kopi sudah pasti, dan kalau ada permintaan lain, resto akan segera mengirimkan utusannya untuk konsultasi. Hebat, bukan?
Tidak yakin apakah rombongan sudah mandi ketika mereka bergabung untuk berkeliling di taman. Semuanya semeringah dan segar walaupun terlihat kedinginan. Maka perjalanan pagi yang memanaskan otot-otot yang sempat mengkerut itu dimulai.
Pemandangan ke arah gunung Kamojang begitu cerah, gunung membiru dan langit kuning merah bergaris tipis awan putih. Di sela-selanya beberapa lajur awan putih berdiri lurus mengarah ke langit, sedikit melenggok terkena angin pagi. Itulah asap yang berasal dari kawah Kamojang, salah satu kekayaan alam Indonesia yang sedang dikelola untuk menjadi energi listrik panas bumi. Subhanallah.
Pembangkit Listrik Panas Bumi
Ini adalah proyek vital yang memerlukan pengamanan ekstra. Itu menurutku. Begitu memasuki kawasan Pembangkit Listrik Panas Bumi Kamojang, yang terasa adalah suasana angker yang membuat pikiran melayang ke macam-macam kejadian yang menakutkan. Pipa-pipa besar yang mengkilat mengular sepanjang jalan.
Sambil membayangkan panasnya aliran apa pun yang ada di dalamnya, terasa seakan semua itu begitu rapuh dan mudah hancur, begitu besar, mahal dan dahsyat apabila terjadi bencana, sehingga proyek yang begitu vital itu memerlukan pengamanan ekstra ketat. Tapi yang terlihat adalah jauh dari kesan ketat. Jalan umum sepanjang perjalanan tak terlihat adanya penjagaan dan pengamanan. Hanya pintu gerbang masuk ke kolam-kolam terbuka yang mengeluarkan asap dan gas, serta gelembung-gelembung udara dari dalam kolam yang berbau belerang menyengat. Penjaga gerbang lebih banyak perhatiannya pada sejumlah uang yang dibayarkan pengunjung sebagai pembayar karcis masuk daripada menjaga keamanan proyek yang begitu besar ini.
Di puncak gunung Kamojang, letupan gas yang mirip kepulan asap dari cerobong lokomotif kereta api batu bara ini terus terjadi setiap saat tanpa henti. Selama bertahun- tahun, berwindu dan berabad. Tidak terbayangkan betapa besarnya energi yang terbuang percuma jika energi alam yang murah dan melimpah ini tidak dimanfaatkan. Indonesia memang sangat kaya.
Angin, ombak, matahari dan panas bumi mengalir tanpa henti, sehingga tanpa menggali minyak bumi dari fosil pun, pasti akan mendapatkan kecukupan energi. Kebesaran Allah terasa ketika berada di kawasan ini.
Gemuruh gas yang memancar dari dalam bumi, panas mengalir tanpa henti memberikan pesan bahwa apa yang dibanggakan oleh manusia tentang apa yang dilakukan dan dihasilkannya ternyata tidak ada artinya dibandingkan dengan kebesaran Allah. Sekian banyak kolam dan lubang yang memancarkan panas, terus berlangsung tanpa henti. Itu hanya di gunung Kamojang. Tak terhitung gunung vulkanik yang ada di negeri ini, di dunia ini, di jagat raya ini. Sungguh karya manusia bukan apa-apa, tak pula sebesar debu dibandingkan kuasa Allah. Subhanallah.
Kolam di sepanjang jalan di kawasan Kamojang mendidih, airnya berputar, gelembung gas muncul dan pecah di permukaan, lalu diikuti oleh puluhan, ratusan, ribuah, jutaan dan tak terhitung, tak terhingga, terus muncul dan pecah selama bertahun dan berabad sampai Yang Maha Kuasa menghentikannya.
Ratusan atau mungkin ribuan anak tangga mengular menuju kolam-kolam lain di puncak Kamojang. Manusia di sini sudah tidak melihat lagi betapa besarnya kejadian alam ini karena terbiasa melihatnya setiap hari. Mereka menjadikan tempat ini sebagai tempat untuk mencari rizki, sebagai pedagang, pemandu wisata atau cukup sebagai penjaga keamanan. Kamojang!
===
Sahabat Setia SINAR TANI bisa berlangganan Tabloid SINAR TANI dengan KLIK: LANGGANAN TABLOID SINAR TANI. Atau versi elektronik (e-paper Tabloid Sinar Tani) dengan klik: myedisi.com/sinartani/