Senin, 14 Oktober 2024


Wajit, Dari Kelebihan Produksi Beras Ketan hingga Jadi Ikon Kuliner Cililin

16 Apr 2024, 11:11 WIBEditor : Gesha

Wajit Cililin kini menjadi ikon kuliner legenda | Sumber Foto:Istimewa

TABLOIDSINARTANI.COM, Bandung Barat -- Siapa yang masih ingat dengan rasa Wajit Ketan khas Cililin?Siapa sangka, berawal dari kelebihan produksi beras Ketan, kini Wajit menjadi ikon kuliner legenda dari Cililin, Kabupaten Bandung Barat. 

Wajit Cililin terbuat dari ketan yang dicampur dengan gula aren dan kelapa, kemudian dibungkus dalam daun jagung, menciptakan citarasa yang khas.

Kepopuleran Wajit Cililin di kalangan pendatang menjadikannya sebagai oleh-oleh yang tak terhindarkan saat mengunjungi Cililin.

Meskipun disaingi oleh berbagai macam makanan dari luar, warisan resep dan cara pembuatan turun temurun tetap menjaga keaslian rasa Wajit Cililin tidak berubah.

Generasi penerus dari pencetus Wajit Asli Cap Potret  Haji Siti Romlah, Syamsul menceritakan bahwa Cililin adalah sebuah wilayah agraris yang kaya akan stok beras, dimana para petani mengandalkan penjualan beras sebagai mata pencaharian utama mereka.

Namun, terjadi kelebihan stok beras ketan karena beras biasa lebih banyak dikonsumsi daripada beras ketan.  Akhirnya, Ibu Uti terinspirasi untuk menciptakan hidangan baru berbahan dasar beras ketan, dengan mencampurnya dengan gula aren, gula putih, dan kelapa.

"Oleh Ibu Uti dan Ibu Juwita beras ketan ini diolah dicampur dengan gula aren, gula putih, dan kelapa. Yang mungkin saja jauh di tempat lain pada tahun 1916 makanan ini sudah ada, tapi belum dikenal dengan nama wajit”, jelasnya.

Produk yang dihasilkan oleh kedua bersaudara ini mulai mendapat respon positif dari masyarakat. Sebelum tahun 1936, wajit hanya tersedia saat ada acara khusus, seperti pernikahan, biasanya dipesan secara khusus kepada Ibu Uti dan Ibu Juwita," jelasnya.

Pada awalnya, masyarakat Cililin menyebut makanan ini sebagai "ketan digulaan" ketika memesannya kepada Ibu Uti dan Ibu Juwita. Nama "wajit" muncul ketika pada suatu pesta pernikahan, seorang tamu dari Jawa mencicipi makanan tersebut dan berkomentar, "Di daerah saya, ini disebut wajik," ungkapnya.

Dia menjelaskan bahwa terjadi perubahan dalam pengucapan kata "wajik" di masyarakat Cililin, yang akhirnya menjadi "wajit". "Ada variasi dalam pengucapan bahasa yang berbeda, sehingga istilah 'wajik' berubah menjadi 'wajit'," terangnya.

Ditentang Belanda

Semakin sering wajit disajikan dalam pesta pernikahan dan khitanan, semakin banyak pula kerabat dari luar Cililin yang mulai mencicipi dan menyukainya.

Pada saat itu, kalangan bangsawan dan pejabat kolonial Belanda mulai mengetahui tentang wajit yang dibuat oleh Juwita dan Uti, dan mereka sangat menyukai produk tersebut. 

"Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk memonopoli produksi wajit buatan Juwita dan Uti, dengan kebijakan bahwa produk wajit tersebut hanya boleh diproduksi khusus untuk kalangan bangsawan dan pejabat kolonial Belanda," jelas Syamsul.

Akibatnya, Ibu Uti dan Ibu Juwita menghadapi intimidasi dari pihak kolonial. "Meskipun dihadapkan pada intimidasi dan tentangan dari pihak kolonial, Ibu Irah tetap menjual wajit secara diam-diam. Hal ini bisa dianggap sebagai bentuk 'perlawanan terhadap kolonial melalui budaya'," jelasnya.

Larangan konsumsi wajit bagi kaum bawah terus berlanjut hingga tahun 1926. Saat itu Juwita mulai menurunkan pengetahuan pembuatan wajit kepada putrinya Irah.

Pada rentan waktu itu wajit Cililin dijual secara sembunyi-sumbunyi. Namun dengan keyakinan bila rakyat berhak memakan apa yang meraka tanam, Irah pun memberanikan diri menjual wajit secara terang-terangan.

"Pada tahun tahun 1936, Irah berani menjual secara terang-terangan. Ia tahu bahwa bahan dasar wajit itu hasil dari sawah rakyat. Jadi tak salah jika dimakan semua kalangan," ujarnya. 

Berkat aksi berani itu, Irah beberapa mendapat intimidasi dari pemerintah kolonial Belanda. Dia bahkan sempat ditegur untuk tak menjual wajit lagi. Namun, Irah tak bergeming. Dia terus menjual makanan tersebut bahkah hingga ke Kota Bandung. Tak pelak kudapan wajit cililin makin terkenal dan tak terbendung lagi untuk diprivatisasi oleh satu kalangan.

Reporter : Nattasya
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018