Koe Chang atau Kwee Chang
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta - Siapa yang tidak suka makanan manis dan gurih sekaligus? Koe Chang, lupis khas Kuningan, bisa menjadi pilihan yang tepat untuk memanjakan lidah Anda. Olahan tradisional yang legendaris ini memiliki rasa yang unik dan membuat siapa saja ketagihan.
Orang Kuningan, Jawa Barat percaya sekali kalau Koe Chang itu asli makanan khas Kuningan dan menjadi oleh-oleh favorit dari kota sejuk di kaki Gunung Ciremai ini.
Memang Koe Chang jarang ditemukan di daerah lain, tetapi dari namanya saja kita bisa menduga bahwa asal usul makanan itu dari Tiongkok.
Khas seperti saudara-saudaranya Taofu, Taoge, Kim Lo dan sebagainya. Dan benar, Koe Chang itu pendatang dari Tiongkok yang disukai masyarakat kita.
Nama aslinya Kwee Chang. Sama-sama bermarga Chang tetapi tidak ada kaitannya dengan Michael Chang yang jago tenis itu, ya.
Tampilannya memang menarik. Jarang ada makanan yang dibungkus dengan daun bambu sehingga aromanya spesial, wangi daun bambu.
Membungkusnya saja memerlukan keterampilan tersendiri. Daun bambu itu tidak lebar tapi harus bisa membungkus Koe Chang dengan rapi.
Selain itu Koe Chang diikat dengan tali bambu yang antik dan natural. Pokoknya sangat alami dan hand made, lah.
Kalau di Kuningan Koe Chang itu rasanya asin dan bisa dimakan dengan makanan lainnya yang berasa asin seperti goreng oncom, Kwee Chang yang asli dimakan dengan sebelumnya dicelupkan atau disiram gula cair (kinca).
Jadi Kwee Chang mirip atau kira-kira bersaudara dengan Kue Lupis yang asli Nusantara.
Kue Lupis dibuat dari beras ketan yang dimasak dengan cara direbus seperti membuat lontong, kemudian dipotong-potong lalu dihidangkan dengan gula aren cair yang dimasak diberi sedikit mentega dan garam untuk memperkaya rasa.
Rasanya memang hmmmm. Sayang makanan ini sangat berpotensi meningkatkan kadar gula darah sehingga ada tanda "AWAS!" bagi penderita diabetes.
Cara makan Kwee Chang atau Kicang memang mirip dengan cara makan Kue Lupis, hanya saja olahan ketan pada Kwee Chang dibuat menggunakan air abu agar warnanya lebih kekuningan.
Kwee Chang juga dibungkus dengan daun bambu dan membentuk segi tiga priramida tipis, kalau disiram dengan kinca nikmatnya luar biasa.
Saudara sepupu lain Kwee Chang adalah Bak Chang. Yang terakhir ini bisa terbuat dari beras ketan atau beras biasa, di dalamnya diisi daging atau sayuran, rasanya asin.
Jelas ya, ada Kwee Chang, Koe Chang dan Bak Chang. Mereka bersaudara satu kakek. Sedangkan Bak Pao mungkin saudara jauh dilihat dari bentuk maupun rasanya.
Kedua makanan tersebut (Kwee Chang dan Bak Chang) biasanya ada pada perayaan Pesta Perahu Naga (Festival Peh Cun) yang sekarang masih dirayakan di sungai Cisadane, Tangerang yang dipercaya sebagai tempat pendaratan pertama para perantau dari Tiongkok.
Di Tiongkok masyarakat melemparkan Kwee Cang ke sungai sebagai cara memperingati kematian Mentri Qu Yuan. Sementara di Indonesia, mungkin memperingati kedatangan mereka pertama kali ke Nusantara.
Nah itu serba-serbi kue Tiongkok yang sudah dinaturalisasi, tapi tetap menggunakan nama aslinya dengan sedikit terpelintir karena perbedaan cara mengucapkan saja.
Tak beda dengan pemain bola asing yang dinaturalisasi, jadi WNI tapi namanya tak berubah Jangan kecewa ya, orang Kuningan. Koe Chang tetap menjadi penganan favorit oleh-oleh dari kota ini.