Petani kentang di Sembalun sedang panen | Sumber Foto:sinta
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Kentang menjadi komoditas hortikultura yang banyak dibutuhkan, baik untuk industri maupun dikonsumsi sebagai sayuran masyarakat. Sayangnya potensi lahan pengembangan kentang di Indonesia cukup besar belum tergarap optimal. Perlu dukungan pemerintah membangun tata kelola komoditas tersebut.
Jika melihat data pemenuhan kebutuhan kentang, maka sebagian besar berasal dari impor dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Khususnya kentang industri, baik untuk chips maupun frence frise.
“Ketergantungan impor besar sekali. Tentu ini banyak devisa yang terbuang, kalau kita hanya mengandalkan impor,” kata Penyuluh Swadaya Nasional dari NTB, Pending Dadih Permana saat Webinar Program Makmur Tingkatkan Produksi Kentang Petani Sembalun yang diselenggarakan Tabloid Sinar Tani dengan PT Pupuk Indonesia, Rabu (19/9).
Dadih juga melihat, beberapa banyak lokasinya yang tersebar di beberapa wilayah dukungan infrastruktur dasarnya masih sangat minim. Padahal menurutnya, Indonesia memiliki potensi lahan dan agroekosistem yang memungkinkan untuk memproduksi komoditas kentang. Salah satunya di Sembalun, NTB.
Bahkan usaha budidaya komoditas kentang sampai kini lebih banyak merupakan inisiatif masyarakat atau petani dan beberapa industri yang concern. Pemerintah ia menilai, belum memiliki sistem atau tata kelola pengembangan komoditas ini yang ajeg di dalam negeri, sehingga produksi kentang untuk industri utamanya dan kentang sayur, banyak terkendala.
Karena peran pemerintah sebagai regulator masih sangat minim menyebabkan sering terjadi ketidakpastian pengembangan kentang di Indonesia, utamanya kentang industri. “Bukan hanya ketersediaan lahan untuk budidaya atau perbenihan, aspek perbenihan, manejemen budidaya, penanganan panen dan pascapanen serta pasar. Semua itu terlihat dari political will pemerintah yang masih sangat minim,” kata Dadih.
Banyak Pekerjaan Rumah
Dadih yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian mengungkapkan, banyak pekerjaan rumah dalam pengembangan kentang di dalam negeri. Misalnya, infrastruktur penunjang seperti jalan, pengairan, sarana logistik dan pergudangan pada kawasan pengembangan kentang masih sangat terbatas.
“Kalau kita lihat, infrastruktur daerah pengembangan kentang berada daerah di daerah ketinggian atau upland masih sangat minim, jalan untuk transportasi, pengairan dan sarana logistik pergudangan pada kawasan pengembangan kentang masih sangat terbatas,” katanya.
Selain itu, ketersediaan benih/bibit kentang, baik sayur maupun industri, berkualitas sangat terbatas dan tidak terbangun suatu sistem perbenihan yang terbina dengan baik. Bahkan, ketersediaan benih sumber dan calon benih yang tertelusur mutu dan kebenaran varietasnya tidak menjadi perhatian pemerintah sebagai regulator. “Akibatnya, petani seringkali mendapat benih asalan di lapangan. Ditingkat budidaya, kawalan penyuluh kepada petani kentang sangat minim,” ujarnya.
Karena itu, Dadih mengingatkan, perlunya penataan atau pengawalan terkait benih hasil perbanyakan dalam negeri dan Impor. Jadi harus terintegrasi dan sinergi dengan pengembangan budidaya. “Perlu kontrol dan kawalan terhadap benih impor dan benih dalam negeri, serta penerapan regulasi yang equal sehingga dapat memotivasi berkembangnya produksi benih dalam negeri,” tegasnya.
Mirisnya lagi, pola kemitraan petani untuk kentang industrI saat ini masih menempatkan petani pada posisi tawar yang lemah. Penyebabnya, pihak Industri tidak mau berkontrak di on farm gate, tetapi petani harus mengirim sampai ke pabrik.
“Seringkali petani dikalahkan mitra industri bila dihadapkan pada masalah mutu kentang di pabrik. Pada posisi ini petani harus menanggung 100% penurunan kualitas kentang selepas panen sampai ke pabrik,” katanya. Padahal lanjut Dadih, seharusnya hal ini bukan menjadi tanggungan petani dan ini sangat tidak adil dan merugikan petani.
Karena itu, Dadih berharap, pemerintah membangun tata kelola pengembangan komoditas pertanian, khususnya kentang. Bahkan pemerintah harus berkomitmen menyiapkan, kebijakan dengan menyiapkan regulasi yang memadai. Selain itu, juga membangun Program Rintisan, dengana kewajiban fasilitasi (infrastruktur, pembiayaan awal) dan pengawalan.
”Petani ini butuh bimbingan terkait dengan produksi hingga pemasaran. Setelah petani berproduksi, bagaimana pasarnya. Bagaimana regulasi kita bisa pro terhadap petani dan juga dunia usaha, sehingga mereka tidak ragu untuk investasi masuk bermitra bersama-sama petani,” tuturnya.