Bawang merah menjadi salah satu komoditi yang kini mendapat sorotan serius dari pemerintah, terutama karena harganya kerap bergejolak, sehingga bisa mengerek laju inflasi. Harusnya, bukan hanya persoalan harga, cara budidaya bawang oleh petani juga mendapat perhatian penting dari pemerintah.
Sudah bukan rahasia lagi, petani bawang, terutama di sentra produksi Brebes, Jawa Tengah banyak yang tidak efisiensi dalam usaha tani. Akibatnya, biaya produksi pun sangat besar, terutama pengeluaran untuk pupuk dan pestisida.
Misalnya petani bawang merah di Desa Selatri, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Pada awal musim hujan tahun 2014 lalu, untuk pengolahan tanah, pembuatan bedengan dan saluran, petani mengeluarkan biaya sebesar Rp12 juta. Sedangkan untuk pembelian benih sebanyak 1,5 ton benih umbi untuk satu hektar sawah diperlukan biaya sekitar Rp 20-30 juta, termasuk biaya tanam.
Biaya pembelian dan aplikasi pupuk anorganik sekitar Rp 7 juta. Pupuk anorganik diberikan sebanyak tiga kali dengan tenggang waktu 10 hari. Pemupukan pertama masing-masing 75 kg TS-36/ha dan 75 kg urea/ha sebagai pupuk tunggal dan 100 kg pupuk majemuk N(15%)-P(15%)-K(15%)/ha. Pemupukan kedua takarannya sama. Pemberian pupuk ketiga dengan volume 50 kg KCl/ha dan 125 kg pupuk majemuk N(15%)-P(15%)-K(15%)/ha.
Biaya lain yang petani harus keluarkan adalah untuk penyiraman sekitar Rp 3 juta, pembelian pestisida sintetik dan biaya penyemprotan hama sekitar Rp 2 juta. Dengan demikian, total biaya budidaya bawang merah pada musim tanam awal musim hujan berkisar Rp 44-54 juta.
Produksi bawang merah umumnya sekitar 12 ton/ha. Jika harga jual saat panen kualitas sedang Rp 7 ribu/kg, medium Rp 9 ribu/kg dan super Rp 10 ribu/kg. Diperkirakan pendapatan kotor petani sekitar Rp 84 juta (bawang kualitas sedang, Rp 108 juta (medium) dan Rp 120 juta (super). Jadi, keuntungan bersih yang pertani dapatkan antara Rp 40-66 juta.
Evaluasi Penggunaan Pupuk
Dari pelaksanaan budidaya bawang merah tersebut terlihat takaran pupuk anorganik yang sangat tinggi. Takaran pupuk Urea, SP-35, KCl, dan N-P-K mendekati 700 kg/ha relatif sangat tinggi. Kondisi itu bisa dipastikan efisiensi serapan hara relatif rendah karena banyak hilang tercuci atau menguap.
Efisiensi serapan hara dapat ditingkatkan dengan teknologi slow release fertilizer. Caranya menggunakan mineral zeolite yang diformulasikan dengan kompos jerami dan pupuk anorganik N dan P. Takarannya 50% dari yang biasa digunakan. Disarankan diberi hara mikro Zn jika ketersediaan Zn tanah lebih rendah dari 1 ppm.
Sayangnya, penelitian untuk menetapkan rekomendasi takaran pupuk anorganik berbasis teknologi uji tanah untuk bawang merah kurang mendapat perhatian. Demikian juga, penelitian pemberian mulsa terhadap peningkatan efisiensi serapan hara pupuk anorganik masih perlu diungkap lagi.
Berdasar peta status hara P yang dikeluarkan Balai Penelitian Tanah, status hara P pada tanah yang ditanami bawang seperti di Brebes dan daerah pantura Jawa lainnya relatif tinggi. Hal itu dapat mengakibatkan kahat hara mikro Zn.
Karena itu diperlukan informasi analisis tanaman dari tanaman bawang merah (daun dan umbinya) untuk mendeteksi tidak hanya kandungan hara makro (N, P, K, S, Ca, Mg), tetapi juga hara mikro (Zn, Cu, Fe, Mn, B, Mo).
Jadi, informasi yang diperoleh analisis tanah (uji tanah) dan analisis tanaman dilakukan secara serempak. Dengan demikian dapat diketahui kandungan hara dalam tanah dan daun/umbi bawang pada kondisi di atas atau di bawah nilai batas kritisnya.
Evaluasi Pengendalian Hama
Hal lain yang perlu dievaluasi adalah soal pengendalian hama dengan pestisida sintetik untuk mencegah serangan ulet daun. Fakta di lapang menunjukkan ada beberapa merk dagang pestisida sintetis yang sebenarnya mengandung bahan aktif yang sudah dilarang.
Pertanyaannya mengapa jika di luar negeri sudah tegas melarang penggunaan pestisida sintetik berbahaya, tapi pemerintah masih memberikan ijin impor?. Para Ahli Peneliti Utama di bidang hama sudah mengingatkan untuk tidak menggunakan pestisida sintetik, tetapi belum mendapat perhatian dari pemangku kebijakan.
Jika kebijakan penggunaan pestisida sintetik berbahaya dilanjutkan, maka pemerintah secara tidak sadar melakukan pembiaran tanah pertanian sebagai tempat buangan racun yang dilegalisir. Ke depan pemerintah harus mendorong pemanfaatan sumberdaya biopestisida berbahan dasar lokal untuk mengatasi membantu petani mengatasi hama penyakit tanaman.
Solusi masalah ini antara lain membentuk kebijakan terpadu dari tiga Kementerian terkait (Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan) untuk merevisi regulasi tentang pestisida sintetik impor yang berbahaya. Dengan demikian biopestisida dapat dimanfaatkan dan dikembangkan lebih optimal. Biaya usaha tani pun bisa dipangkas. M. Al Jabri (Ahli Peneliti Utama Badan Litbang Pertanian)/Yul
Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066
Editor : Julianto