Selasa, 10 Desember 2024


Menanam Cabai di Musim Kemarau

12 Mar 2015, 09:15 WIBEditor : Nuraini Ekasari sinaga

Dalam beberapa tahun terakhir komoditi cabai kerap membuat pedas pemerintah. Bagaimana tidak, ketika pemerintah berupaya menjaga inflasi, justru komoditi hortikultura ini kerap bergejolak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) cabai memberikan kontribusi terbesar terhadap inflasi, masing-masing 0,4% dan 0,3%.

Karena itu saat Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, cabai dimasukkan ke dalam komoditi strategis yang dikendalikan. Pemerintahan Joko Widodo juga tetap menjadikan cabai sebagai pusat perhatian, selain komoditi pangan lainnya seperti beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula.

Untuk mengatasi gejolak harga cabai, Kementerian Pertanian pada tahun 2015 telah merencanakan peningkatan produksi cabai, khususnya cabai besar dan cabai rawit di 47 kabupaten/kota di 33 provinsi. Anggaran yang direncanakan sebanyak Rp 450 miliar.

Ubah Pola Tanam

Seperti diketahui gejolak harga cabai ibarat tamu tahunan saat memasuki musim hujan. Karena itu menurut Direktur Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian, Hasanuddin Ibrahim, untuk mengatasi gejolak harga cabai, terutama saat musim hujan pemerintah akan mendorong petani menanam cabai saat musim kemarau.

Selama ini petani cabai menaman pada musim hujan dan panen saat kemarau. Alasannya, menurut Hasanuddin, lebih banyak karena faktor keterpaksaan. Kondisi alam, keterbatasan modal dan mengurangi resiko gagal panen atau penurunan produktifitas yang membuat petani lebih suka menanam cabai pada musim hujan.

Sebaliknya jika menanam cabai pada musim kering, maka petani akan menghadapi kelangkaan air/sumber air terbatas. Petani juga umumnya kurang modal, sehingga tidak bisa membangun sumur atau menyewa pompa air karena ongkosnya mahal. Alasan lainnya adalah biasanya saat kemarau banyak hama penyakit dan pertumbuhan vegetatif terganggu, sehingga berpengaruh terhadap daya tahan tanaman.

Sementara ungkap Hasanuddin, saat musim hujan serangan penyakit meningkat seperti virus kuning, fusarium, antraknosa dan lalat buah. Pada musim hujan, bunga tanaman juga bisa rontok dan buah mudah busuk. Kendala lainnya yang membuat petani enggan menanam cabai pada musim hujan adalah biaya petik meningkat dan distribusi terhambat, sehingga produk cabai bisa rusak dalam perjalanan.

Kecenderungan petani yang lebih suka menanam cabai pada musim hujan tersebut menurut Hasanuddin, membuat harga cabai saat musim hujan naik tinggi. “Saat awal musim penghujan, produksi cabai selalu mengalami penurunan sehingga lonjakan harga cukup fantastis,” katanya kepada Sinar Tani.

Sementara itu Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI), Dadi Sudiana juga menyarankan, pola tanam petani cabai harus diubah, tidak lagi menanam pada musim hujan tapi saat musim kemarau. Alasannya, saat hujan gangguan hama dan penyakit merajalela dan kualitas cabai pun kurang baik.

“Selama ini petani lebih banyak menanam saat musim hujan ketimbang musim kemarau. Karena pada musim kemarau petani susah mendapatkan air, jadinya mereka menanam di musim hujan,” katanya.

Seharusnya saat musim hujan, menurut dia, petani menanam tanaman lain seperti sawi. Lalu di musim kemarau baru menanam cabai. Jika menanam selain cabai, maka sangat berpengaruh terhadap keberadaan hama dan penyakit tersebut.

“Ketika musim hujan, tanaman cabai rentan terkena hama dan penyakit. Ketika cabai sudah terkena, tanahnya pun menjadi tercemar. Hama dan penyakit menjadi lebih mudah menyerang. Intinya jadi seperti rantai. Sulit untuk diputus,” katanya.

Bantuan Pemerintah

Hasanuddin mengatakan, untuk mengurangi potensi lonjakan harga dan menjaga ketersediaan stok cabai, pemerintah akan melakukan Gerakan Tanaman Cabai Musim Kemarau (GTCMK). Untuk gerakan tersebut pemerintah menganggarkan bantuan sebanyak Rp 500 miliar.

Gerakan ini dilakukan dengan menggeser waktu tanam cabai ke musim kemarau agar ketersediaan cabai dapat dirasakan setiap tahun. Waktu tanam nantinya pada Juli-Oktober, sehingga panen pada Nopember-Maret. “Cara itu kita harapkan memberikan penghasilan jauh lebih tinggi kepada petani, karena panen cabai terjadi saat musim hujan,” tuturnya.

Dalam gerakan ini, Ditjen Hortikultura, Kementerian Pertanian akan membuat area percontohan tanaman cabai. Areal percontohan seluas 1.000 meter/kecamatan di 100 kabupaten. Di areal percontohan tersebut, pemerintah akan memberikan bantuan pompa air dan instalasi irigasi tetes untuk setiap satu hektar lahan di seluruh areal percontohan.

“Bantuan pompa air dan instalasi irigasi tetes ini diperlukan mengingat tiap musim kemarau petani selalu menghadapi permasalahan ketersediaan air. Dengan bantuan ini diharapkan cabai dapat tanam pada musim kemarau,” katanya.

Bantuan lain yang pemerintah sediakan adalah benih bermutu, kapur pertanian 3 minggu sebelum tanam untuk menstabilkan pH 6-7, pH meter, mulsa plastik perak, pengelolaan OPT berupa Tricoderma dan benih jagung sebagai tanaman barrier, kompos organik dan anorganik, hand tractor/cultivator, plastik UV untuk border/rain shelter (fakultatif), serta terpal dan keranjang panen.

Dalam percontohan tersebut, petani akan mendapat bantuan benih yang tahan lembab. Budidaya cabai juga akan ramah lingkungan, karena petani akan diajarkan cara mengatasi organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dengan alami. Untuk mengatasi hujan, nantinya petani akan diberikan pemahaman dengan menggunakan teknologi shading, sehingga hasil cabai tidak cepat busuk.

Fokus lainnya, kata Hasanuddin adalah pendampingan kelembagaan untuk menerapkan pertanian yang berkelanjutan dan mempermudah akses ke perbankan. Sedangkan untuk mengatasi kendala distribusi dan transportasi dengan penyebaran sentra produksi di tiap kabupaten. Apalagi tanaman ini tidak perlu kondisi agroklimat khusus.

“Kalau gubernur, bupati dan walikota peduli cabai, maka daerah bisa berdiri sendiri dalam produksi cabai. Jadi tiap daerah harus mandiri cabai, sehingga produksinya tidak dibebankan ke sentra cabai saja,” tegasnya.

Dengan GTCMK ini, diharapkan harga cabai tahun depan bisa menurun sekitar 20-30%. Manfaat lain, distribusi cabai segar lebih cepat karena dekat dengan pasar setempat, sehingga menekan biaya distribusi. Pada akhirnya, inflasi daerah yang berdampak pada inflasi nasional juga bisa tertahan. Echa/Yul/Ditjen Horti

Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066

Editor : Julianto

BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018