Selasa, 10 Desember 2024


Menumbuhkan Cinta Konsumsi Sayuran

01 Apr 2015, 10:35 WIBEditor : Nuraini Ekasari sinaga

Berapa besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi sayuran? Wajar jika ada yang mempertanyakan hal tersebut. Meski wilayah Indonesia cukup subur, termasuk untuk budidaya sayuran, ternyata konsumsi sayuran masyarakat Indonesia terbilang masih sangat rendah.

Tingkat konsumsi sayur masyarakat Indonesia masih jauh dari angka ideal yang ditetapkan badan pangan dunia (FAO). Padahal Indonesia merupakan penghasil sayur yang sangat besar dan beragam. FAO mensyaratkan konsumsi buah dan sayur idealnya 65,75 kg per kapita per tahun. Sementara, orang Indonesia baru sekitar 40 kg per kapita per tahun. 

Untuk memperkenalkan produk sayur Indonesia kepada khalayak luas Direktorat Budidaya dan Pascapanen Sayuran dan Tanaman Obat, Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan ikut serta dalam Agrinex yang di helat di Jakarta Convention Center (JCC) pada Jum'at hingga Minggu (20-22/3).

Pada Agrinex Expo ke-9 ini Direktorat Budidaya dan Pascapanen Sayuran dan Tanaman Obat, Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan berpartisipasi dengan membagikan 240 unit paket sayuran dan 500 unit paket buah untuk dibagikan kepada para pengunjung.

Dengan mengikuti pameran ini diharapkan, masyarakat lebih mengenal potensi buah dan sayur Indonesia yang memiliki mutu jauh lebih bagus. “Para pengunjung yang berkecimpung di bidang pertanian, atau kelompok maupun pebisnis bisa dipertemukan dalam forum ini dan bisa terjadi jual beli, atau tukar informasi tentang usaha agribisnis yang dijalankannya,” kata Direktur Budidaya dan Pascapanen Sayuran dan Tanaman Obat, Direktorat Jenderal Hortikultura, Dwi Iswari.

Tujuh Komoditas

Pada tahun 2015, fokus kebijakan Direktorat Jenderal Hortikultura adalah pengembangan tujuh komoditas sayuran yaitu bawang merah, cabai merah, cabai rawit merah, jamur, kentang, sayuran daun dan bawang putih. “Target kebijakan pengembangan ini adalah untuk mengendalikan inflasi, substitusi impor, memenuhi permintaan dalam negeri dan mencapai ketahanan pangan keluarga,” katanya.

Khususnya komoditas cabai dan bawang merah, Dwi mengatakan, ketersediaannya diperlukan sepanjang tahun. Namun, kenyataannya produksi dua komoditi tersebut selalu terjadi fluktuasi karena pengaruh musim/cuaca. Akibatnya, sering terjadi gejolak harga yang berdampak pada inflasi.

Selain itu menurut Dwi, pengembangan komoditas ini karena tren konsumen untuk hidup sehat dengan mengkonsumsi sayur, sehingga permintaannya meningkat. Hal ini menunjukkan bisnis komoditas sayuran berpeluang besar meningkatkan kesejahteraan petani.

“Selain itu dengan mengembangkan komoditas sayuran tersebut kita ingin mengejar ketertinggalan rekomendasi FAO untuk konsumsi sayuran sebesar 73 kg/tahun/kapita, sedangkan di Indonesia masih 31,14 kg/tahun/kapita,” ujar Dwi.

Pengembangan ketujuh tanaman sayuran ini sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 50/Permentan/OT.140/8/2012. Namun mengerucut pada pengembangan komoditas cabai merah, bawang merah, bawang putih dan jeruk. Setidaknya ada empat katagori kegiatan yakni, pengembangan baru/inisiasi, penumbuhan, pengembangan, pemantapan dan integrasi antar kawasan.

Untuk mencapai sasaran pengembangan tanaman sayuran atau hortikultura secara umum tersebut, ditempuh tiga strategi, yaitu pengembangan komoditas, sistem perbenihan dan sistem perlindungan. Adapun strategi pengembangan komoditas ditempuh melalui tujuh kegiatan.

Pertama, pengembangan kawasan. Kedua, registrasi kebun/lahan usaha. Ketiga, sekolah lapang good agriculture practices (SL-GAP). Keempat, penanganan pasca panen. Kelima, sekolah lapang good handling practices (SL-GHP). Keenam, pengembangan kelembagaan dan kemitraan. Ketujuh, pemasyarakatan produk bermutu pameran.

Untuk kebijakan pengembangan kawasan hortikultura, Dwi menjelaskan, pendekatannya dirancang untuk meningkatkan efektivitas kegiatan, efisiensi anggaran dan mendorong keberlanjutan kawasan komoditas unggulan. Berdasarkan kelompok komoditas, kawasan pertanian terdiri dari, kawasan tanaman pangan, kawasan hortikultura, kawasan perkebunan dan kawasan peternakan.

Menurut Dwi, untuk kawasan hortikultura adalah sebaran usaha hortikultura yang disatukan faktor alamiah, sosial budaya dan infrastruktur fisik buatan, serta dibatasi oleh agroekosistem yang sama sedemikian rupa. Dengan demikian dapat mencapai skala ekonomi dan efektivitas manajemen usaha hortikultura.

“Kawasan hortikultura dapat berupa kawasan yang sudah ada atau calon lokasi baru, baik berupa hamparan atau spot partial atau luasan terpisah, namun terhubung dengan aksesibilitas memadai,” katanya.

Dwi mengakui, untuk menjalankan kebijakan ini tidaklah mudah karena menghadapi berbagai kendala. Misalnya, pengembangan komoditas cabai dan bawang merah selama ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Padahal di sisi lain, produksi dua komoditi tersebut sangat tergantung pada kondisi iklim. Kendala lain karena minimnya infrastruktur pengairan membuat keterbatasan ketersediaan air saat penanaman di musim kemarau.

Kendala lainnya adalah ketersediaan benih (terutama benih umbi). Penyebabnya adalah terbatasnya jumlah penangkar dan belum optimalnya penerapan teknologi budidaya sesuai GAP/SOP. Bukan hanya itu, petani juga belum sepenuhnya menyadari penggunaan teknologi budidaya ramah lingkungan, sehingga penggunaan pestisida kimia masih menjadi pilihan.

Persoalan lain di tingkat petani adalah pola produksi belum dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan. Petani juga sering kehilangan hasil, terutama pada proses panen dan pasca panen, karena masih minimnya penggunaan fasilitas pasca panen (misalnya cold storage). Rantai pemasaran yang masih panjang dari petani hingga konsumen menjadikan tingkat kehilangan semakin besar, sehingga berpengaruh pada fluktuasi harga di pasar. Echa.

Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066

Editor : Julianto

BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018