Indonesia memiliki keragaman produk hortikultura, termasuk untuk fungsi estetika atau florikultura. Meski belum banyak disorot, ternyata potensi pasarnya cukup luas, baik di dalam dan luar negeri.
Direktur Budidaya dan Pascapanen Florikultura, Ditjen Hortikultura, Kementerian Pertanian, Ani Andayani mengatakan, bahwa pasar florikultura tidak selalu ekspor, melainkan pasar dalam negeri pun masih berpotensi besar.
“Mungkin terkadang kita salah dengan pasar ekspor karena selalu menilai dengan dolar, sementara protokol ekspornya masih belum dipahami secara seksama. Kalau itu yang terjadi, kita fokuskan dulu untuk pasar yang paling dekat yaitu pasar domestik yang masih terbuka luas,” kata Ani kepada Sinar Tani di Jakarta.
Karena investasi yang dikeluarkan cukup besar, Ani tidak menyarankan berbisnis florikultura bila belum memiliki pasar yang jelas. “Saat ini sudah tercatat permintaan ekspor dari luar negeri, tapi kuotanya tidak pernah bisa terpenuhi,” tambahnya.
Selama periode 2006-2010, data statistik luas panen dan produksi florikultura untuk anggrek, krisan, mawar dan sedap malam meningkat mencapai 24,84 persen dan 43,78 persen. Luas panen pada tahun 2010 mencapai 17.312.972 meter persegi dan produksinya mencapai 378.915.785 tangkai. Hal tersebut jauh melampaui luas panen dan produksi pada tahun 2006 yaitu 6.205.093 meter persegi dan 166.645.684 tangkai.
Bukan saja luas panen dan produksi, tingkat volume ekspornya pun dari 2009-2011 terus mengalami peningkatan. Misalnya, pada 2009 mencapai 2.200 ton, 2010 sekitar 2.800 ton dan tahun lalu mencapai 3.300 ton. Dari ekspor tersebut, nilai yang diraih adalah 4,7 juta dolar AS, 8,5 juta dolar AS, dan terakhir 9,2 juta dolar AS.
Meski data-data tersebut menunjukkan besarnya potensi florikultura untuk dikembangkan, Ani mengatakan, terdapat beberapa tantangan yang mesti dihadapi. Misalnya, nilai investasi relatif lebih tinggi dibandingkan investasi agribisnis lainnya pada skala usaha yang sama, sehingga keragaan luas lahan usaha yang ada masih kecil. Contohnya, investasi agribisnis padi Rp 6–9 juta/ha, kentang Rp 50–60 juta/ha, sedangkan leatherleaf bisa mencapai Rp 500–600 juta/ha.
Karena itu, Ani menyarankan, perlu adanya pengembangan kawasan secara klaster. Selain itu perlu juga untuk menjalin kolaborasi melalui penguatan kelembagaan terkait atau dengan sistem kemitraan. “Kalau petaninya berusaha sendiri-sendiri pasti sangat berat di awal. Tapi, kalau usahanya digabungkan akan lebih ringan dan memungkinkan untuk cepat memulai,” katanya.
Tantangan lain menurut Ani adalah, kebutuhan permintaan akan produk florikultura tidak dapat diukur berdasarkan standar konsumsinya seperti pada buah, sayur atau produk pangan lainnya. Namun, sangat bergantung kepada preferensi konsumen dan trend pasar yang berkembang dan cepat berubah.
“Solusinya adalah dengan melakukan analisis kajian preferensi dan membangun trend setting bagi komoditas unggulan bernilai ekonomi. Selain itu, dengan melakukan penguatan daya saing produk berbasis sumberdaya lokal,” katanya.
Florikultura selain memiliki fungsi estetika, fungsi ekonomi bagi upaya peningkatan pendapatan petani. Selain itu berfungsi memperbaiki kualitas oksigen (penyerap polutan) yang tentunya sangat baik untuk kesehatan masyarakat. Echa
Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066
Editor : Julianto