Kampung Bies Pilar hanyalah sebuah kampung kecil yang terletak di Kecamatan Bies, Kabupaten Aceh Tengah. Letaknya yang hanya beberapa kilometer dari Takengon sekilas tidak ada bedanya dengan desa-desa lain di Kabupaten Aceh Tengah.
Di tengah sunyinya desa, ada sosok lelaki tua yang mengagumkan. Lelaki tua yang lahir 73 tahun lalu bernama Haji Kasdi. Meski usianya sudah tidak muda lagi, tapi dia tidak nampak renta. Tidak sulit untuk menjumpai Kasdi.
Semua penduduk di desa itu mengenalnya dengan baik. Rumahnya terletak di pinggir jalan beraspal yang mudah dilalui kendaraan. Lelaki yang sejak muda sudah menekuni sebagai petani kopi. Sampai kini dia memiliki 2 hektar (ha) kebun kopinya yang masih terawat dan berproduksi dengan baik. Meski dari kebun kopi, sudah mampu membiayai keluarganya dengan layak. Bahkan mengantarkannya ke tanah suci beberapa tahun yang lalu, tapi Kasdi merasa belum puas. Ada sesuatu yang menggelisahkan pikirannya.
Tanaman Cabai
Kasdi bercerita, kegelisahan itu berawal tahun 2005 saat mengelilingi pelosok Dataran Tinggi Gayo. Dia banyak melihat dan mendengar keluhan petani cabai. Saat harga naik, banyak petani latah menambah atau mengalihkan usaha taninya ke komoditi cabai. Hanya dalam waktu tidak lama, ratusan hektar hamparan mulsa tempat menanam cabai menghiasi daerah berhawa dingin ini.
Karena banyak petani menanam cabai menimbulkan masalah baru. Terberat yang dirasakan petani adalah munculnya penyakit antraxness pada tanaman cabai. Saking ganasnya dampak penyakit yang disebarkan virus membuat ratusan hektar tanaman cabai mengalami keriting daun, batang yang mengerdil dan akhirnya mati.
Berbagai upaya sudah dilakukan mengatasi kendala itu. Baik secara biologi maupun kimia. Tapi hasilnya belum memuaskan petani. Penggunaan pestisida kimia untuk mencegah dan mengendalikan penyakit tanaman itu hanya sedikit mengurangi serangan mematikan itu, bahkan membuat penyakit itu semakin kebal.
Keluhan petani membuat Kasdi memutar otak untuk mencari solusi keresahan petani. Setelah melakukan pengamatan di lapangan, dia berkesimpulan munculnya penyakit tersebut akibat penggunaan benih yang sembarangan. Petani cabai kurang memperdulikan asal usul benih cabai.
Kasdi lalu berfikir menciptakan benih cabai yang resistan terhadap penyakit tanaman khususnya antraxness. Sejak saat itu Kasdi mulai bergerilya mencari tanaman cabai yang bebas dari serangan penyakit antraxness. Dia meminta kepada pemilik tanaman cabai untuk mengkarantina tanaman. Caranya dengan membuat jaring pengaman yang dapat mengisolasi tanaman itu dari tanaman lainnya.
Dari pohon-pohon sehat itu, Kasdi menyeleksi buah-buah cabai berkualitas lalu ditangkarkan di kebun. Mulailah dia menggeluti pekerjaan barunya sebagai penangkar benih kecil-kecilan. Benih-benih cabai pilihan itu kemudian disemaikan dan ditanam di kebun percobaannya.
Untuk menjaga agar kebun percobaannya aman dari pengaruh luar yang berpeluang terjadi infeksi pada tanaman cabai, Kasdi mengawasi kebun percobaannya dengan ketat. Selain mengurung dengan jarring, dia juga tidak mengijinkan sembarang orang untuk memasuki ‘kawasan terlarang’ itu.
Hasil uji coba pertamanya berhasil dengan baik. Tidak satupun tanaman yang terkena serangan penyakit antraxness, bahkan tanaman cabai di kebun percobaannya mampu berproduksi melebihi produktivitas rata-rata.
Belum yakin dengan hasil percobaannya, dia mengulangi pada musim tanam berikutnya dengan volume yang lebih besar. Hasilnya semakin baik. Begitu juga pada uji coba yang ketiga dan keempat.
Kasdi mulai yakin benih cabai hasil tangkarannya benar-benar tahan terhadap serangan penyakit. Tapi untuk melepas benih cabainya kepada masyarakat luas, dia masih ragu. Akhirnya dia mencari relawan yang mau menguji coba benih cabai ciptaannya di kebun-kebun mereka.
Nyaris tidak ada kesulitan mendapatkan relawan-relawan itu. Banyaknya teman-teman petani Kasdi. Beberapa bulan kemudian, relawan mulai melaporkan hasil uji coba mereka. Rata-rata petani puas dengan hasil uji coba. Merekapun meminta Kasdi memperbesar produksi benih cabainya, karena ingin mengembangkan pada areal yang lebih luas.
Lebih dari tiga tahun setelah uji coba pertamanya, permintaan benih cabai makin meningkat. Kasdi mencoba mengemas benih cabai dengan kemasan lebih menarik dan mulai jaringan pasar melalui penjual saprodi di seputar Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Benih cabai kemudian diberi label La Odeng.
Itulah sosok Haji Kasdi, lelaki tua yang terus berkarya di usia senja. Hanya satu prinsip dalam hidupnya memberi manfaat bagi sesama, selagi bisa. Fathan M.T (Kasubbid. Pelatihan Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Aceh Tengah)/Yul.
Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066