Pemerintah akan mengevaluasi penggunaan bibit kakao hasil Somatic Embriogenesis (SE). Alasannya, sejak tiga tahun perjalanan Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao), bibit kakao SE belum menunjukkan peningkatan produktivitas.
“Kita sedang evaluasi mengapa produksi kakao dalam negeri belum bisa mengimbangi permintaan untuk pemenuhan industri hilir,” kata Menteri Pertanian, Suswono saat Rapat Umum Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture (PISAgro) di Jakarta.
Salah satu yang pemerintah akan evaluasi adalah penggunaan bibit kakao SE. Sebab hingga kini belum ada laporan yang secara signifikan meningkatkan hasil. “Ini yang kita khawatirkan apakah waktunya yang belum berbuah atau sebetulnya kurang menjanjikan. Ini harus terus dievaluasi,” tuturnya.
Laporan Ditjen Perkebunan, hasil pengamatan di lapangan, tanaman kakao hasil rehabilitasi tahun 2009 sudah berbuah dengan produktivitas 1,5-2 ton/ha. Untuk program intensifikasi produktivitas tanamannya mencapai 1-1,5 ton/ha. Adapun untuk peremajaan tanaman yang dilakukan pada 2009 masih belajar berbuah.
Kegiatan rehabilitasi dengan teknik sambung samping menggunakan klon unggul hasil SE. Klon unggul tersebut adalah ICCRI 03, ICCRI 04, Scavina 6, Sulawesi-1 dan Sulawesi-2. Dari hasil pengamatan di lapangan, tanaman kakao yang direhabilitasi mampu menghasilkan produktivitas 1,5-2 ton per ha. “Salah satu karakteristik klon unggul yang digunakan di Gernas Kakao, mampu menghasilkan lebih dari 2 ton per ha dan tahan terhadap penyakit pembuluh kayu,” kata Dirjen Perkebunan, Gamal Nasir.
Data Ditjen Perkebunan menyebutkan, produksi kakao tahun 2012 meningkat 28.282 ton dibandingkan 2011. Produksi kakao 2012 sebesar 740.513 ton sedangkan pada 2011 sebesar 712.231 ton. Sementara itu, angka sementara pada 2013 menunjukkan angka 777.539 ton.
Standar Kakao
Untuk meningkatkan mutu produk kakao, Suswono menyatakan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian telah menyusun standarisasi produk kakao, khususnya kakao fermentasi. Untuk itu, pemerintah akan membina petani untuk menghasilkan kakao fermentasi melalui Kelompok Tani (Poktan) yang akhirnya membentuk Koperasi Unit Desa (KUD).
Dengan adanya KUD, petani bisa mendapatkan kemudahan dalam mengakses sarana dan prasarana. “Kami berharap petani kakao bisa kita latih dan kemudian memiliki sertifikasi. Kita akan permudah yang penting petani mau untuk menghasilkan kakao fermentasi,” katanya.
Sementara itu, Direktur Mutu dan Standarisasi, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian, Gardjita Budi mengatakan, dengan adanya kebijakan tersebut nantinya penjualan biji kakao wajib sudah difermentasi. Bahkan untuk mengetahui asal-usul kakao tersebut akan ada surat keterangan dari otoritas setempat.
Guna mengetahui penelusuran peredaran biji kakao nantinya dibentuk sebuah lembaga yang menangani, memproses dan memasarkan biji kakao. Lembaga tersebut yakni Unit Fermentasi dan Pemasaran Biji Kakao (UFP-BK).
Unit ini dibentuk oleh satu atau lebih kelompok tani atau gabungan kelompok tani atau bisa juga dilakukan pelaku usaha. UFP-BK inilah yang akan mengeluarkan Surat Keterangan Asal Lokasi (SKAL) biji kakao. Dengan demikian asal usul biji kakao bisa diketahui dengan mudah. “Dalam memasarkan biji kakao, UFP-BK harus menyertakan SKAL-nya,” katanya.
Sedangkan untuk menjamin pemasaran produk kakao dari petani, pemerintah telah mewajibkan industri pengolahan kakao atau eksportir menerima biji kakao yang telah dilengkapi SKAL. Pemasaran bisa dilakukan dengan mekanisme kemitraan, resi gudang dan lelang.
Agar UFP-BK bisa mendapatkan biji kakao sesuai dengan persyaratan mutu, menurut Gardjita, unit tersebut harus mengikuti pedoman penanganan pasca panen kakao sesuai dengan peraturan yang berlaku. Nantinya UFP-BK akan mendapat pembinaan dari pemerintah daerah secara berjenjang. Tia/Yul
Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066
Editor : Julianto