Oleh Dr Ir Tri Pranadjii, MSi, APU - Peneliti di Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor
TABLOIDSINARTANI.COM - Sebagai peneliti lapangan bidang social ekonomi sudah sepantasnya bisa membantu Menteri Pertanian untuk mengatasi masalah “kemacetan” sektor pertanian di lapangan tanpa harus menunggu tahun anggaran belanja negara (APBN) berakhir. Dengan demikian permasalahn kemacetan pertanian teratasi, dan tidak memboroskan Anggaran Pemerintah.
Pada akhir 2019, mencuat di media sosial permasalahan pertanian di tanah air tentang ’Lana Bango” (minyak kelapa murni) di Tahuna, Sulawesi Utara. Sebagai orang yang pernah meneliti kelapa di Sulawesi Utara, terasa adanya optimisme politik investasi pertanian di Tahuna yang langsung ‘melompat” menjadi sangat optimis. Bahkan bisa saya katakan bahwa di sektor pertanianlah masa depan pembangunan ekonomi di Kabupaten Tahuna disandarkan.
Jika saja investasi pengembangan untuk “Lana Bango’ berhasil, maka investasi pertanian di sub sektor lain akan semakin terbuka. Belajar dari sejarah VOC, menunjukan bahwa investasi di sektor pertanian, apabila ditangani dengan sungguh-sungguh dan teliti, maka sektor pertanian akan memberikan benefit dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar. Dua aspek ini bukan saja menjadi sasaran penting bagi pemerintahan Joko Widodo 4 (empat) tahun ke depan, melainkan juga membuka pespektif pembangunan pertanian berbasis konstratani (komando strategis pembangunan pertanian yang posnya ada di setiap kecamatan) dan sumberdaya domestik.
Apabila pabrik-pabrik atau industri pertanian di pedesaan bisa terbangun atau dibangun, ketika itulah masa depan Bangsa Indonesia yang masih agraris ini akan bisa berkembang menjadi sebuah Bangsa dan negara maju. Kemajuan ini tidak akan datang dengan sendirinya, melainkan harus melalui upaya kreatif, inovatif, dan terencana dengan baik. Ketika pembangunan pertanian tidak dirancang melalui strategi investasi secara baik, rasanya akan mustahil bahkan dapat diwujudkan sebagsi Bangsa dan negara maju.
Gagasan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk mewujudkan pertanian maju, mandiri dan modern, merupakan tantangan yang harus dijawab oleh peneliti ataupun aparat pertanian di pusat dan daerah. Juga gagasan tentang ekspor produk pertanian 3x lipat dan pertumbuhan sektor pertanian 7 persen per tahun.
Kita bisa belajar dari Tahuna. Pada akhir 2019, harga kopra di Sulawesi Utara jatuh, sehingga nilai harga dari hasil kopra diperkirakan tidak mampu menopang perkonomian petani kecil di pedesaan. Jatuhnya harga kopra di tingkat petani akan berdampak luas bagi perekonomian Sulawesi Utara. Di tengah jatuhnya harga kopra yang memprihatinkan itu, Bupati Tahuna, Jabes Ezar Gaghana, SE, ME harus memutar otak dengan keras agar harga kopra dan ekonomi petani kelapa bisa terangkat secara signifikan.
Jatuhnya harga kopra tersebut sepertinya ada kaitanya dengan anjlognya harga CPO di pasar dunia. Ketika Indonesia tidak mampu mempertahankan larangan produk CPO di pasar Eropa, maka efek dominonya sampai pula pada produk olahan kelapa, terutama minyak goreng. Pada produk inilah Indonesia secara historis mampu menjadi eksportir relatif maju dengan volume mencapai hampir 3 juta ton per tahun bersama Filipina dan Sri Lanka. Maka, menjadi menarik ketika politik Presiden Joko Widodo bertekad akan memanfaatkan produk CPO Indonesia untuk konsumsi dan kebutuhan domestik, terutama untuk memproduksi Biodiesel (B10, B20 hingga B30, bahkan jikaperlu B100), sehingga produk CPO Indonesia terserap untuk pengembangan energi terbarukan (biodiesel) dalam negeri dalam rangka pengembangan kemandirian energi dan energi terbarukan (renewable energy) secara domestik.
Hasil bepikir dan kerja keras Bupati Tahuna ternyata tidaklah sia-sia; ternyata produk minyak kelapa segar tidak saja bisa dikembangkan pada skala komunitas, kelompok tani, namun juga bisa dikembangkan dalam skala Badan Usaha milik Desa atau Bumdes. Dengan inovasi ini Bupati Tahuna mampu mengangkat harga kopra petani dari semula di bawah Rp 1000 per biji menjadi RP 2000 pe biji. Dengan harga Rp 2000 per biji, bisa 6-7 biji kelapa diproses menjadi 1 liter minyak goreng murni dengan harga RP 15000 per liter. Satu kelompok tani bisa memproses 600 biji kelapa per hari menjadi minyak goreng murni.
Suatu inovasi yang amat bagus untuk industrialisasi pedesaan berbasis produk pertanian 4.0. menjadi lebih menarik lagi ketika Bupati Sangihe (Jabes Ezar Geghana SE, ME) tahun 2020 berinisiatif dengan dana alokasi khusus (DAK) akan membangun pabrik “lana Bango’ di Tahuna. Jika saja, gagasan ini secara politik disetujui oleh seluruh fraksi di DPRD Kabupaten Tahuna, maka ide ini akan memberikan dampak besar bagi perkembangam ekonomi kelapa di Tahuna, apalagi jika mengangkat bahwa selama ini baru 30 persen pulau--pulau di Kepulauan Sangihe didiami penduduk. Artinya, ekonomi kelapa sangihe berpotensi meningkat sekitar 300 persen dari sekarang.
Jika patokan pertumbuhan ekonomi sekitar 7 persen seperti yang divisikan Presiden Joko Widodo dijadikan sasaran kinerja perkembangan ekonomi Sangihe, Hasil itu tidak akan sulit dicapai dalam beberapa tahun ke depan. Artinya jika kenaikan harga kelapa segar bisa dijadikan insentif bagi petani untuk lebih giat dalam pengembangan kebun kelapanya. Dalam pandagangan saya, sebagai peneliti lapangan, kenaikan harga kelapa segarlebih dari 100 persen merupakan insentif luar biasa untuk petani kelapa untuk lebih giat lagi dalam memperbaiki tanaman dan hasil kebunnya.
Agar program kerjanya berhasil, rupanya Bupati Sangihe tidak mau menyrerahkan ekonomi daerahnya pada ‘mekanisme pasar’. Ia merasa perlu untuk membangun kesadaran masyarakat Sangihe untuk mau menghargai produk lokal berasal dari petani. Bahkan beliau menemui para pengusaha dagang penyalur minyak sawit untuk menghentikan pasokannya ke Tahuna. Beliau mewajibkan sejumlah pengusaha rumah makan dan ASN untuk menggunakan produk minyak goring lokal untuk keperluan dapurnya.
Bahkan beliau rela blusukkan dari kampung-ke kampung untuk mensosialisasikan atau menjajakan minyak goring murni “Lana Bango” ke seluruh penduduk Sangihe. Antara tahun 2020-2024, ia bertekad untuk membantu petani kelapa di Sangihe memperbaiki nasibnya secara signifikan. Sebagai Bupati pun, beliau menyadari bahwa luas perkebunan kelapa masih memungkinkan untuk dikembangkan lagi. Lebih-lebih, dari data Statistik kepulauan Sangihe bahwa baru sekitar 430 persen pulau yang berpenghuni; sisanya (60-70 persen) merupakan wilayah pengembangan yang potensial, selain intensifikasi kebun secara monokultur maupun diversifikasi horizontal.
Bagi mayarakat bangsa Indonesia, kelapa hampir merupakan tanaman asli. Tanaman kelapa ini secara alamiah (melalui ombak samudra dan laut tersebar ke seluruh pulau-pulau ke pelosok negeri hampir tanpa bantuan tangan manusia, dan investasi di perkebunan kelapa ini merupakan wilayah investasi yang sangat menarik dan menguntungkan. Jika saja “fanatisme’ atau ‘kecintaan ‘ terhadap produk domestik dapat dibangun, Indonesia tidak perlu mengimpor energy dari luar, bahan bakar tradisional dari luar, karena arang dari tempurung kelapa tersedia melimpah juga bahan pakan bergizi dari ampas kelapa, makanan segar organik, dari nata de coco, dan gula kelapa yang bisa diproduksi dari dalam negeri.
Apabila pabrik ‘lana bango’ berhasil diwujudkan, maka hal itu akan memberikan efek belajar yang sangat berharga terhadap pengembangan produk pertanian lainnya melalui industrialisasi pertanian di pedesaan. Sebagai gambaran, industri sari kelapa (nata de coco) di Jawa Barat masih sangat kekurangan bahan baku. Demikian pula dengan gula kelapa di Jawa Tebgah. Industri-industri ini sangat akrab dengan kalangan milenial, sehingga sangat cocok untuk melakukan industrialisasi 4,0 di pedesaan.
Sebagai penutup saya ingin katakan bahwa investasi pertanian masih memberikan optimisme yang lumayan baik. Kasus pabrik “lana bango” memberikan pelajaran yang amat berharga yang mungkin sekali tidak hanya cocok untuk Tahuna, melainkan juga sangat cocok untuk kawasan perkebuan kelapa rakyat di seluruh negeri, antara lain Provinsi lampung, sumatera Utara, Riau /kepulauan, Kalimantan, Maluku dan bagian dari Papua.
Tidak hanya untuk sub sector perkebunan. Bahkan untuk industri penggilingan padi sangsat cocok dibangun di kawasan Pantura, kabupaten klaten, Ngawi, Malang, sumatera selatandan Sulawesi Selatan.industrialisas ini isa diintegrasikan dengan program pemerintahan daerah seperti di Bali (Semantri), kelembagaan dan kepemimpinan local, dan lembaga perbankan (KUR) di tanah air.
Ke depan para teknokrat pertanian di daerah perlu ditagih komitmen dan keseriusan keberpihakannya pada pembangunan pertanian dan pedesaan. Mereka inilah yang seharusnya lebih tahu dan mumpuni untuk merancang bersama para birokrat pembangunan di daerahnya.