TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta--- Komoditas kakao masih menjadi andalan, dan banyak dijadikan sandaran hidup petani. Bahkan, untuk mendorong peningkatan produksi dan nilai tambah, petani atau kelompok tani diharapkan melakukan kemitraan. Dengan bermitra, petani kakao akan mudah mendapatkan pendampingan, akses pasar dan permodalan.
Ketua Masyarakat Kakao Indonesia (MKI), Alusius Wayandanu mengatakan, kakao yang diproduksi petani saat ini volumenya sudah turun, sebesar 250 ribu metrik ton (mt)/tahun. Bahkan, ada kecenderungan produksi kakao terus menurun lagi apabila tak segera dilakukan upaya khusus.
“ Minat petani juga mulai menurun, karena produktivitasnya kakao yang ditanamnya rendah.,” ujar Wayandanu, dalam sebuah webinar, di Jakarta, Jumat (30/10).
Danu, begitu sapaan akrab Wayandanu menyebutkan, kakao sebenarnya punya prospek industri yang bagus ke depan. Sebab, kapasitas industri terpasang industri olahan kakao berada di kisaran 800 ribu mt/tahun. Namun, karena produksi di dalam negeri turun, sejumlah industri olahan kakao terpaksa impor kakao sebanyak 250 ribu mt/tahun, dengan nilai 500 juta dollar AS/tahun.
“ Impornya dari Afrika dan Amerika Selatan. Nilai impornya lumayan menggerus hasil ekspor. Tentunya ini harus dikurangi ,” ujarnya.
Nah, untuk menggairahkan budidaya kakao dan produksi kakao di dalam negeri, lanjut Danu, diperlukan kemitraan antara petani (kelompok tani) dengan industri. Mengapa demikian? Karena sudah waktunya menggiatkan petani untuk bermitra. “Kemitraan ini juga mendorong terbentuknya penguatan kelembagaan petani untuk melakukan korporasi tani berbadan hukum dan profesional di sentra perkebunan kakao,” paparnya.
Menurut Danu, kemitraan ini juga mendorong industri pengolahan kakao untuk membuat kebun percontohan di daerah. Luasan kebunnya sesuai dengan skala terpasang yang dimiliki.
Bentuk kemitraanya, kalau untuk kakao organik, mereka (industri dan petani) bisa melakukan kemitraan masing-masing. Sedangkan, yang anorganik dengan kebijakan yang mewajibkan dilakukannya kemitraan antara koperasi dan industri pengolahan kakao.
Sementara itu, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Heru Tri Widarto mengatakan, upaya melakukan kemitraan petani sebenarnya sudah sejak dahulu. Contohnya, sejumah petani kakao yang tergabung dalam LEM sudah melakukan kemitraan dan cukup berhasil.
“ Ditjenbun Kementan juga bergerak dari hulu-hilir. Bahkan, di hilirnya, kami juga melakukan asistensi Bimtek dan pengolahan kakao. Tahun ini kami kembangkan major project kakao di Kolaka Utara, dalam rangka korporasi petani,” papar Heru.
Menurut Heru, Ditjen Perkebunan tak hanya melakukan kemitraan dalam meningkatkan pendapatan petani, tapi juga melakukan implementasi dalam bentuk teknologi budidaya. “ Ada juga diseminasi teknologi unggulan untuk diapliaksi,” ujarnya.
Heru juga mengatakan, kemitraan tak perku dibatasi. Artinya, kalau ada poktan atau gapoktan yang mampu melakukan kemitraan sampai ke pengolahan hasil akan lebih bagus. Namun, kalau petani belum punya alat pengolahan, kemitraan sampai menghasilkan biji berkualitas
“ Tentu saja, kontinuitasnya harus dijaga. Petani yang menghasilkan biji berkualitas ini akan diserap mitranya (pabrik),” pungkasnya.