TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta --- Mendukung program Peremajaan Sawit Rakyat , Apkasindo melakukan berbagai terobosan. Salah satunya dengan menggandeng Nahdlatul Ulama (NU) lewat program Santripreneur berbasis UMKM Kelapa Sawit guna mempercepat realisasi PSR.
Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang dicanangkan Pemerintah sejak beberapa tahun lalu bisa dibilang berjalan lamban. Target peremajaan tidak terpenuhi karena banyaknya hambatan di lapangan.
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dengan anggota para petani sawit yang tersebar di seluruh Indonesia terus melakukan terobosan guna mendukung percepatan program PSR.
Diungkapkan Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Ir. Gulat ME Manurung, MP dalam webinar berseri Mendorong Realisasi Peremajaan Sawit Rakyat yang diadakan Tabloid Sinar Tani bekerjasama dengan BPDPKS, Rabu (9/3), Apkasindo telah mencoba beberapa terobosan ataupun melihat paradigma baru bagaimana merangkul semua stakeholder untuk mempercepat Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
“Termasuk pondok-pondok pesantren yang menurut data, yang kami dapat pada saat Harlah ke-99 NU di Palembang, sekitar 80% petani sawit adalah warga NU. Karena itu kenapa tidak kami rangkul lembaga ini untuk menyampaikan program-program Pemerintah percepatan PSR ini,” tambahnya.
Program Santripreneur berbasis UMKM Kelapa Sawit, yang diinisiasi Apkasindo bekerjasama dengan BPDPKS dan Kantor Wakil Presiden RI, bertujuan menumbuhkembangkan unit industri dan wirausaha industri berbasis kelapa sawit di Pondok Pesantren.
Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam Program Santripreneur antara lain workshop pembibitan kelapa sawit berbasis pondok pesantren. Bimbingan teknis pembibitan kelapa sawit dan PSR. Panen perdana peremajaan sawit rakyat bersama Wakil Presiden RI. Penanggulangan Karhutla dan operasi minyak goreng.
“Selain Nahdlatul Ulama, Apksindo juga merangkul FORMASI (Forum Mahasiswa Sawit Indonesia) yang sudah tersebar di 172 kampus untuk membantu menyampaikan bahwa PSR adalah jalan terbaik untuk percepatan,” ungkapnya.
Gulat mengakui, realisasi PSR menghadapi berbagai tantangan sehingga lambat, mulai dari birokrasi, sosialisasi dan pendampingan, legalitas lahan, perencanaan kerja dan laporan pertanggung jawaban, akses bibit yang sulit, serta harga saprodi yang terus naik, kemitraan dan dana tambahan serta pemeriksaan aparat hukum.
“Dari berbagai kendala tersebut kami memfokuskan pada legalitas lahan. Hampir 84 persen kami gagal di level yang paling rendah pengusulan kabupaten karena terindikasi dalam kawasan hutan. Yang kedua akses bibit sulit, karena ketersediaan akses bibit pada saat akan replanting,” tuturnya.
Dari masukan petani sawit rakyat yang tergabung dalam Apkasindo, Gulat mencatat ada berbagai hal yang menghambat PSR. Paling utama adalah masalah lahan calon PSR yang berada dalam kawasan hutan, meskipun telah memiliki umur tanaman 25 tahun lebih (84 persen gagal usul).
Karena itu, Gulat mengusulkan paradigma baru PSR. Diantaranya menjadikan petani PSR sebagai operator bukan hanya sekedar objek. Sesuai Permentan No 03/2022 jangan meninggalkan petani mandiri (non mitra). Sawit eksisting tertanam untuk PSR harus Tol-Clear untuk PSR sesuai Undang-Undang Cipta Kerja. “Biaya PSR/Ha harus dinaikkan dan PSR harus sepaket dengan ISPO,” tambahnya