Soedjai Kartasasmita
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Sejarah perkebunan nusantara cukup panjang. Bahkan rempah menjadi komoditas primadona yang menjadi rebutan kaum penjajah. “Karena kekayaan alam yang berlimpah menjadi alasan kenapa Hindia Belanda disebut sebagai Gordel Van Smagaard atau Sabuk yang terbuat dari Zamrud,” kata Pungawa Perkebunan, Soedjai Kartasasmita.
Sayangnya kini beberapa komoditas perkebunan justru mengalami masa suram. Dengan pengalamannya di dunia perkebunan, Soedjai yang kini mendapat kepercayaan sebagai Ketua Umum BKS PPS (Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera) mengatakan, komoditas perkebunan sejatinya terbagi dalam beberapa kelompok.
Sebut saja, komoditas yang tidak memiliki potensi untuk bangkit kembali seperti Tembakau Deli. Komoditas ini sudah pudar eksistensinya karena sebagian besar lahannya sidah dikonversi untuk berbagai jenis komoditas lain. Disamping itu, karena pasar tembakau Deli ini adalah kawasan Eropa, tapi terkendala mahalnya biaya logistik untuk angkutan kapalnya
Kelompok kedua menurut Soedjai adalah komoditas yang punya potensi untuk bangkit kembali. Diantaranya, Teh, Kina, Kopi Arabika, Kopi Robusta dan Kakao. “Sesuai dengan perkembangan baru dalam bidang energi hijau kini ada Agave,” katanya saat webinar Hari Perkebunan bertema: Mengembalikan Kejayaan Perkebunan Nusantara, Kamis (8/12)
Khusus untuk Kina, Soedjai meramalkan kebutuhannya akan meningkat. Sebab, WHO memprediksi komoditas ini tetap dibutuhkan untuk menghadapi penyebaran penyakit malaria di tingkat global sebagai dampak perubahan iklim.
“Indonesia pada tahun 1930 an menguasai kurang lebih 93 persen pasar kina internasional. Tapi kini peran tersebut diambil alih beberapa negara Afrika, termasuk Madagaskar yang menjadi eksportir produsen kina terbesar di dunia,” tuturnya.
Soedjai melihat, teh juga memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Teh Sumatera dan teh Jawa pernah dikenal sebagai supreme tea (kualitas utama) di pasar teh internasional. Apalagi kini banyak yang menyadari teh sebagai minuman ideal untuk menjaga kesehatan, meski tidak dalam bentuk black tea, tapi green tea, white tea dan oolong tea.
“Teh sekarang tergolong minuman yang sangat digemari dan dibutuhkan orang-orang muda di seluruh dunia, sekalipun seleranya berbeda-beda dan banyak berubah dari masa lalu,” katanya.
Untuk kakao, Soedjai menyayangkan, arealnya makin lama makin berkurang sehingga produksi cenderung turun. Sebagian besar perkebunan kakao berasal berada di Sulawesi. Selain Sulawesi, Sumatera dulu juga pernah menjadi harapan industri kakao karena memiliki aroma yang berbeda. “Sayang gagal dikembangkan secara masif karena beberapa faktor yang menghambat,” ujarnya.
Karena itu Soedjai mengharapkan perhatian khusus pemerintah dan stakeholder untuk menghidupkan kembali kakao di Indonesia. Apalagi, permintaan pasar internasional sangat tinggi, terutama dari perusahaan besar asing seperti Nestle, Marsh, Hershey dan Cadbury.
Berikutnya adalah kopi, baik Arabika maupun Robusta yang tingkat permintaan dan konsumsi di dunia meningkat terus. Namun Kopi Arabika yang harganya tinggi adalah jenis paling rentan terhadap perubahan iklim, sehingga perlu upaya khusus mengantisipasi hal tersebut.
“Vietnam sebagai produsen kopi Robusta terbesar di dunia telah mengambil langkah-langkah menyelamatkan kopi robustanya. Untuk itu, Soedjai mengharapkan Indonesia juga perlu mengambil langkah signifikan menyelamatkan kopi arabika dan robustanya,” tuturnya.
Komoditas yang cukup menarik dan yang bisa dikembangkan menurut Soedjai adalah Agave. Dulu agave memberikan keuntungan besar beberapa perusahaan di Sumatera karena untuk membuat tali yang diperlukan industri perkapalan. Namun kini Agave sudah mulai dimanfaatkan perusahaan SHELL sebagai energi hijau yang akan berangsur-angsur menggantikan energi fosil.
Di tengah banyak komoditas perkebunan yang tengah surut, Seodjai mengingatkan ada tiga komoditas yang harus dipertahankan. Baca halaman selanjutnya.