Kemitraan memberikan dampak positif bagi pekebun dan perusahaan
Pola kemitraan pekebun dengan perusahaan sawit sudah terbukti memberikan dampak positif terhadap dua pihak. Guna menyatukan kembali (rujuk), Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan telah mengambil kebijakan melalui Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) sebagai skema kemitraan baru.
“Dengan berakhirnya berbagai program PIR tadi sekitar 2005, pembangunan kebun bagi masyarakat sekitar menjadi salah satu solusi mengatasi ketimpangan kesejahteraan di perkebunan dan menjaga hubungan yang harmonis antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat di sekitarnya,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto.
Heru mengatakan, pola FPKM oleh Perusahaan Perkebunan dimulai sejak Permentan No. 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Regulasi tersebut kemudian diubah melalui Permentan No. 98 Tahun 2013 dan dikuatkan dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang kemudian diubah dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai Undang-Undang.
Ada tiga fase pelaksanaan FPKM oleh perusahaan perkebunan. Fase pertama ini berlaku bagi perusahaan perkebunan yang memiliki perizinan usaha perkebunan sebelum tanggal 28 Februari 2007. Khusus bagi perusahaan perkebunan yang telah melaksanakan kemitraan melalui pola PIR-BUN, PIR-TRNS, PIR-KKPA atau pola kemitraan kerjasama inti-plasma lainnya dianggap telah melakukan FPKM dan tidak dikenakan kembali kewajiban FPKM.
“Kalaupun belum mengimplementasikan FPKM, perusahaan dapat memilih pola usaha produktif sebagaimana diatur pasal 7 Permentan 18/2021,” ujar Heru.
Fase kedua dijalankan perusahaan yang memiliki perizinan usaha perkebunan setelah tanggal 28 Februari 2007 sampai dengan 2 November 2020. Di fase ini, pemerintah memberikan kemudahan dengan mempertimbangkan ketersediaan lahan, jumlah keluarga masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta dan kesepakatan antara Perusahaan Perkebunan dengan masyarakat sekitar.
“Apabila tidak terdapat lahan untuk dilakukan FPKM sesuai lokasi dalam kewenangan perizinan, maka dilakukan kegiatan usaha produktif sesuai kesepakatan antara perusahaan Perkebunan dengan masyarakat sekitar,” kata Heru.
Berikutnya, bagi perusahaan perkebunan yang memiliki perizinan usaha perkebunan setelah tanggal 2 November 2020. Jadi perusahaan yang izin usaha budidaya untuk lahan seluruh atau sebagian dari APL (areal penggunaan lain) di luar HGU dan pelepasan kawasan hutan diwajibkan menjalankan FPKM. Perusahaan pun wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 20 persen dari luas lahan tersebut.
Sesuai Permentan No. 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar, perusahaan diberikan berbagai opsi kemitraan antara lain melalui pola kredit, pola bagi hasil, bentuk pendanaan lain yang disepakati para pihak dan bentuk kemitraan lainnya.
Muhammad Iqbal, Ketua Kompartemen Sosialisasi dan Kebijakan PSR Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) menyampaikan, pihaknya mendukung regulasi pemerintah yang mengatur kemitraan dalam hal ini FPKM. Melalui kemitraan, petani dapat meningkatkan pendapatan, kualitas tanaman, dan jaminan pembelian TBS dari perusahaan mitra.
”Melalui kemitraan, kebun akan dikelola lebih profesional, kerja sama dengan mitra usaha membuka peluang-peluang baru, serta membangkitkan solidaritas bersama di kebun kelapa sawit,” katanya. Dengan prinsip simbiosis mutualisme, semua berharap kemitraan menjadi kerjasama yang saling menguntungkan.