Petani sawit berharap pemerintah meninjau ulang RPP UU Cipta Kerja
Meski peluang minyak sawit masih cukup besar, namun sederet tantangan ekonomi global di tahun 2024, baik yang langsung maupun tidak langsung masih menghadang. “Tantangan global dalam industri CPO semakin meruncing seiring pemulihan ekonomi global yang lambat, menyebabkan penurunan konsumsi dan dampak signifikan pada permintaan CPO,” kata Aviliani.
Aviliani mengatakan, hal tersebut sebagai efek domino belum membaiknya ekonomi negara-negara maju, termasuk China dan India yang mengalami inflasi tinggi. Kendati begitu, perlahan pulihnya ekonomi China masih menjadi isu krusial.
Sementara penolakan terhadap CPO dari beberapa negara hingga sekarang dipengaruhi oleh dinamika kepentingan dagang yang kompleks. Di Eropa, CPO bersaing ketat dengan minyak nabati lainnya, sedangkan regulasi deforestasi Uni Eropa (EU Deforestation Regulation) semakin membatasi ruang gerak industri ini.
Di sisi lain, meski Indonesia sebagai produsen utama, tapi belum mampu menjadi penentu harga CPO di pasar global. Sementara Malaysia sebagai pesaing Indonesia kini sudah mampu mentukan harga komoditas sawit dan CPO dunia, termasuk untuk Indonesia melalui Bursa Malaysia Derivatives (BMD).
Harga komoditas sawit dan CPO juga ditentukan dollar Amerika Serikat. Padahal, ekspor sawit yang kuat otomatis akan meningkatkan harga komoditas sawit itu sendiri. Jika harga patokan komoditas sawit dan CPO dipatok pada mata uang rupiah, maka masyarakat pelaku usaha perkebunan sawit akan mengalami peningkatan ekonomi.
Di tingkat domestik, Aviliani juga melihat tantangan semakin kompleks. Permintaan CPO di dalam negeri dipengaruhi perkembangan sektor konsumsi, terutama industri makanan, minuman, dan kosmetik. Dari segi produksi, produktivitas CPO menurun akibat perkebunan yang semakin menua, dipicu masalah El Nino yang berdampak pada 46 persen perkebunan mengalami penurunan produksi.
Biaya produksi CPO juga terus meningkat akibat kenaikan upah buruh, harga pupuk, dan logistik yang berimplikasi pada daya saing industri. Infrastruktur yang buruk ke pusat produksi CPO semakin memperumit proses produksi dan distribusi. Selain itu, pembiayaan CPO di masa depan semakin sulit dengan adanya isu green financing yang menghindari sektor-sektor kurang ramah lingkungan.
“Dalam konteks hukum, Undang-Undang Cipta Kerja memberikan tantangan tambahan, terutama dengan tumpang tindihnya kasus hukum terkait area hutan dan tuntutan hukum terhadap perusahaan yang terlibat dalam kasus kebakaran,” tuturnya.
Karena itu, Aviliani mengatakan, langkah terakhir yang dapat diambil pemerintah adalah memajukan hilirisasi. Dalam konteks ini, hilirisasi tidak sekadar merupakan upaya mendorong industri kelapa sawit dalam negeri dan pemerintah daerah sentra sawit nasional untuk mengolah CPO menjadi sub-produk bernilai ekonomi tinggi, tetapi juga sebagai strategi untuk mengurangi pasokan ekspor CPO.
Dengan berhasilnya praktik hilirisasi, menurut Aviliani, Indonesia dapat memperlambat pemenuhan kebutuhan CPO dunia, menciptakan keadaan di mana permintaan global bergantung pada Indonesia. Seiring waktu, ketika dunia mendesak untuk memperoleh pasokan CPO, Indonesia akan berada dalam posisi kuat untuk menetapkan harga dalam rupiah.
Dengan demikian, Indonesia dapat meraih peran sebagai penentu patokan harga CPO dunia, membawa keuntungan ekonomi yang signifikan ke dalam negeri. Artinya, meski tantangan industri sawit masih cukup besar, tapi asa tetap ada