Ditjen Perkebunan antisipasi dampak kebakaran lahan, terutama kebun sawit
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Kementerian Perindustrian telah menyiapkan regulasi untuk menjadikan pabrik kelapa sawit (PKS) menjadi industri makanan (food factory). Selama ini yang menjadi masalah adalah banyak PKS yang tidak didukung teknologi permesinan.
Koordinator Industri Kelapa Sawit, Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Ditjen Industri Agro, Kementerian Perindustrian, Lila Harsya Bachtiar mengatakan, untuk menjadikan PKS food factory, pihaknya sudah menyiapkan regulasi untuk mengubah regulasi Kemendag yang menyebutkan CPO adalah hasil olahan TBS dengan kadar free fatty acid (ffa) 0-20%.
Saat ini regulasi Kemenperin disebutkan CPO adalah memiliki kadar ffa 0-10%. Kualifikasinya 0-3% masuk dalam kategori CPO premium, 0-5% CPO SNI, 0-10% CPO. Diatas angka tersebut sudah bukan CPO. Jika kadar ffa 10-20% disebut POME, kadar ffa 20-70% residu dan diatas 70% BMAD.
Menurutnya, awalnya pemerintah mentapkan yang masuk kategori CPO adalah yang kadar ffa 0-5%. Karena banyak PKS dipelosok yang hanya menghasilkan CPO kadar ffa 6-8%, sehingga dikhawatirkan nantinya tidak ada yang membeli, akhirnya pemerintah menetapkan yang termasuk CPO adalah dengan kadar ffa 10%.
“Selama ini dengan 20% disebut CPO banyak CPO food grade dicampur POME untuk meningkatkan volume. Dengan regulasi yang segera diluncurkan ini, pencampuran diharapkan tidak terjadi. Pembeli tentu tidak mau kalau CPOnya dicampur residu,” tuturnya.
Ke depan, Lila sepakat PKS harus semakin efisien. Permasalahan industri sawit sekarang adalah pabrik CPO berkembang pesat tanpa didukung ekosistem industri permesinan. Akibatnya sangat tergantung pada impor, terutama dari Malasyia. “Indonesia ketika mengembangan sawit yang penting ada dulu sehingga ekosistem industri pendukung tidak terbentuk,” ujarnya.
Beda dengan Malaysia yang dikembangkan bersama-sama dengan industri permesinannya. Di Negeri Jiran yang bekerjasama dengan Jerman untuk menghasilkan mesin dan sparepart yang presisi untuk mendukung industri CPO. “Di sana ada satu kawasan yang isinya pabrik mesin PKS semua dan diantarannya banyak memasok ke Indonesia. Impor mesin PKS Indonesia sangat besar sekali,” katanya.
Sementara itu, Posma Sinurat, Ketua Bidang Pabrik Kelapa Sawit P3PI menyatakan masalah lain yang dihadapi adalah banyaknya PKS tanpa kebun atau sering disebut PKS brondolan. PKS jenis ini berdiri dekat pabrik yang sudah ada dan membuat TBS bisa pindah, sehingga mempengaruhi PKS.
“Kalau tidak diatasi, maka produksi CPO bisa turun dan akan berimbas ke pekebun,” katanya. Bahkan Posma mensinyalir salah satu penyebab produksi CPO landai adalah PKS brondolan. Produk mereka adalah CPO asam tinggi, sehingga produknya tidak dihitung sebagai CPO tetapi limbah. “Kalau dibiarkan akan jadi masalah besar di depan,” tegasnya
PKS tanpa kebun ini menurut Posma, banyak berdiri dekat dengan PKS yang bermitra dengan petani plasma atau pekebun swadaya. Kehadirannya justru menganggu PKS bermitra karena mengambil TBS dari plasma dan pekebun bermitra.
“Padahal sesuai aturan, PKS tanpa kebun harus punya bahan baku 20?ri kebun sendiri. Syarat PKS mendapat ISPO jelas yaitu rantai pasoknya bisa ditelusuri mana yang berasal dari kebun sendiri, dari petani di wilayah mana. EUDR juga mengamanatkan hal yang sama,” tuturnya.
Data menyebutkan dari 1.200-an PKS tanpa kebun yang pembinaannya di Ditjen Perkebunan, Gubernur dan bupati, pengawasannya belum berjalan. Dirjen Perkebunan sudah membuat surat edaran pada gubernur, bupati/walikota untuk melakukan monitoring pada PKS di wilayahnya tidak hanya terkait kesehatan, tapi juga kebersihan dan K3, serta penataan lokasi.
Untuk mendukung industri sawit, Posma Sinurat menyatakan P3PI akan mengadakan TPOMI yang kedua di Bandung pada 18-19 Juli. Berbeda dengan event sawit lainnya, TPOMI ini menekankan Updating Technology Palm Oil Mill.