Selasa, 10 Desember 2024


Swasembada Gula, Banyak PR di Hulu

15 Mei 2024, 13:12 WIBEditor : Yulianto

Petani tebu sedang panen | Sumber Foto:dok. istimewa

TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Gula menjadi salah satu komoditas strategis yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Bahkan melalui Peraturan Presiden No 40 Tahun 2023, pemerintah melakukan upaya percepatan swasembada gula, baik konsumsi maupun kebutuhan industri. Untuk itulah, berbagai strategi disiapkan, termasuk perbaikan di tingkat hulu (budidaya tebu).

Jika melihat kebutuhan gula di dalam negeri dibandingkan produksi, maka data menyebutkan produksi dalam negeri sangat terbatas. Misalnya, pada tahun 2022 dengan kebutuhan gula mencapai 6,7 juta ton, produksi gula dalam negeri hanya memasok 2,4 juta ton. Artinya, sebagian besar kebutuhan dipasok dari impor.

Produksi gula yang terbatas tersebut akibat kurangnya kapasitas produksi dan tingginya usia pabrik gula (PG). Dependensi Indonesia pada gula impor lebih dari 50 persen mendorong pemerintah untuk menyusun agenda swasembada gula sebelum tahun 2030, yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No 40 Tahun 2023.

Jika berbicara swasembada gula, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen menegaskan, bukan hanya fokus pada hulu yakni produksi tebu. Tapi pola pengembangan tebu harus menyajikan perbaikan dari hulu sampai hilir.

Dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2023, Soemitro menjelaskan, pada Perpres disebutkan adanya penambahan area baru perkebunan tebu seluas 700.000 ha. Artinya, penambahan luas areal tersebut nantinya akan berhubungan dengan penyediaan benih atau bibit.

“Seharusnya ketersediaan benih/bibit harus di dekat lahan pengembangan baru. Ini yang harus kita persiapkan dari sekaranga,” ujarnya. Selain soal luasan lahan tebu baru, lanjut Soemitro, dalam Perpres No. 40 tahun 2023 juga disebutkan upaya peningkatan produktivitas tebu menjadi 93 ton/ha dengan rendemen 11,2%. “Bagaimana caranya? Ini yang harus kita jawab,” tegasnya.

Jangan sampai ketika kita akan menjalankan Perpres tersebut kita tergagap. Apalagi targetnya 59 persen produksi tebu berasal dari perkebunan rakyat,” katanya.  Padahal menurut Soemitro, lahan tebu petani kini semakin berkurang, sehingga memerlukan perhatian.

Di sisi lain, banyak petani tebu mengeluhkan tidak mendapatkan pupuk subsidi. Padahal menurut Soemitro, jika produksi tebu tinggi dan biaya produksi yang rendah, maka petani tidak akan menuntut harga. ”Namun yang terjadi saat ini produksi rendah, maka area pertanaman tebu tidak akan bertambah, bahkan yang terjadi malah menurun,” sesalnya.

Jika melihat kondisi perkebunan tebu yang ada di Indonesia, maka sebagian besar adalah milik rakyat yang umurnya telah tua. Bongkar ratun solusinya. Baca halaman selanjutnya.

 

Reporter : Julian
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018