TABLOIDSINARTANI,COM, Jakarta---Sawit menjadi komoditas strategis yang selama ini menjadi penyokong devisa negara. Namun di sisi lain, ternyata petani sawit juste mempunyai pekerjaan rumah (PR) yang tak mudah untuk diselesaikan. Bahkan PR-nya dari hulu hingga hilir.
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono mengatakan, sawit merupakan komoditas strategis yang memegang peran penting dalam menambah devisa negara, sekaligus menjadi lokomotif utama pertumbuhan ekonomi. Saat ini, Indonesia menguasai 60 persen pasar minyak sawit dunia.
Bagaimana menjaga tetap menjadi nomor wahid penguasa minyak sawit dunia? Sudaryono menegaskan pentingnya peningkatan produktivitas sawit hingga 17 ton/ha. PR lainnya adalah memperkuat sektor hilirisasi sawit. “Paling tidak kita bisa mencapai 17 ton/ha, mendekati Malaysia yang sudah berada di angka 18 ton/ha,” ujarnya saat acara pengukuhan kepengurusan Apkasindo 2024 di Auditorium Utama Kementerian Pertanian, Jakarta, pada Rabu (9/10)
Secara tegas Sudaryono mengajak Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) untuk lebih berfokus pada peningkatan produktivitas sawit nasional. Apalagi Mas Dar, sapaan akrab Wakil Menteri Pertanian ini menyatakan pemerintah berkomitmen menjaga sawit sebagai komoditas yang tidak hanya mendukung ekonomi nasional, juga kesejahteraan petani.
Nah, untuk menjaga daya saing dan keberlanjutan komoditas ini, Sudaryono juga menyoroti pentingnya pengembangan hilirisasi, terutama dalam produksi biodiesel B50 yang diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada impor biosolar. "Dengan pengembangan hilirisasi sawit, kita dapat menghasilkan produk lain seperti biodiesel B50 yang sudah berjalan untuk memenuhi kebutuhan biosolar. Bahkan, kita berharap bisa mengurangi 100 persen impor biosolar," tegasnya.
Ia juga mencatat keberhasilan Indonesia dalam mengembangkan B35 dan B50 dari ekspor Crude Palm Oil (CPO), yang menjadi tonggak penting dalam program hilirisasi sawit nasional. Selain fokus pada hilirisasi, Sudaryono juga mendorong integrasi kebun sawit dengan tanaman padi gogo sebagai bagian dari upaya mendukung ketahanan pangan nasional. “Kita ingin kebun sawit ditumpangsarikan dengan padi gogo, karena ketahanan pangan dalam negeri sangat bergantung pada produksi padi,” ungkapnya.
Dua Peran Apkasindo
Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Jenderal TNI (Purn) Dr Moeldoko yang secara resmi melantik dan mengukuhkan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Apkasindo periode 2024-2029 menyampaikan, Apkasindo minimal harus bisa menjalankan dua peran penting, yaitu sebagai bridging institution dan bridging petani dengan pemerintah.
“Dalam konteks bridging institution, Apkasindo harus bisa menjembatani antara kepentingan rakyat, petani, perguruan tinggi, riset, dan development, sehingga selalu terjaga bagaimana perkembangan teknologi itu diikuti,” katanya.
Moeldoko mengungkapkan, Apkasindo juga harus bisa menjadi bridging antara petani dengan pemerintah, sehingga semua kebijakan bisa dirasakan masyarakat. Sebagai mitra bagi pemerintah, posisi Apkasindo harus jelas berada di pemerintah. Tetapi Apkasindo juga harus memiliki pikiran-pikiran kritis.
Dengan demikian, Moeldoko berharap, keberadaan Apkasindo bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat petani, khususnya petani sawit. "Bukan sekedar bendera yang berkibar, bukan sekedar anggota yang bertebaran, bukan. Tetapi kehadiran sungguh dirasakan oleh seluruh masyarakat petani sawit khususnya. Itu yang kita perjuangkan,” ungkapnya.
Moeldoko juga menyinggung isu produktivitas sawit rakyat yang masih rendah. Dia berharap, Apkasindo dapat menggali dan menganalisis penyebab masalah ini secara mendalam. “Petani sawit di Malaysia, 19 ton per hektare. Petani sawit kita masih 12 ton per hektare.Kenapa bisa seperti itu? Apkasindo harus mencari jawaban. Dimana kelemahannya,” ujar dia.
Isu kedua yang diangkat adalah hilirisasi. Moeldoko menekankan pentingnya kolaborasi antara Apkasindo, Kementerian Pertanian (Kementan), dan Komisi IV DPR. “Kita cari, apa sih yang menjadi bottleneck? Setelah kita temukan, mari kita sama-sama cari jalan keluarnya. Karena ini menyangkut kepentingan rakyat petani sawit Indonesia yang jumlahnya kurang lebih 12 juta dari 25 provinsi,” katanya.
Ketiga adalah isu kebun sawit di kawasan hutan. KSP terus berjuang untuk memberikan kepastian bagi masyarakat yang berada di kawasan tersebut. "Kita harap seluruh jajaran Apkasindo bekerja keras untuk mencari solusi bersama-sama dengan pemerintah,” kata Moeldoko.
Kesetaraan Harga TBS
Sementara itu usai pelantikan, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo), Gulat Manurung mendorong kesetaraan harga tandan buah segar (TBS) petani swadaya dan petani bermitra. "Memang masih banyak hal-hal yang harus kita kerjakan kita perjuangkan, salah satunya adalah tentang kesetaraan petani swadaya dengan petani sawit bermitra,” kata Gulat.
Gulat menyampaikan, persoalan yang terjadi di lapangan yaitu masalah petani sawit swadaya yang tidak diakomodasi dalam undang-undang negara ini. "Tidak ada satu kata pun disebut petani swadaya. Kami sedih. Padahal, dari 16,3 juta ha, seluas 6,87 juta ha itu petani sawit swadaya. Sedangkan, petani bermitra cuma 68 persen atau 410 ribu hektar,” ungkap dia.
Gulat berharap, pemerintahan baru merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 01 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Apalagi, kata Gulat, Presiden Terpilih Prabowo Subianto dengan tegas mengatakan akan membela petani sawit swadaya yang tidak mendapatkan haknya.
“Mungkin PR Pak Dirjen yang paling berat, tetapi sekaligus paling ringan adalah bagaimana merevisi Permentan 01, sehingga petani swadaya disebut dalam permintaan tersebut,” tegas Gulat. Dampak dari tidak ada satu kalimat pun dalam regulasi pemerintah tersebut, Gulat menghitung dengan Ombudsman kerugian yang dialami petani swadaya dalam satu minggu terakhir mencapai Rp 14,7 triliun. "Ini karena tidak ada kesetaraan harga TBS," ujarnya.