Selasa, 10 Desember 2024


Wamen ATR: Legalitas Lahan Sawit Akan Diurus, Asal Bukan Kawasan Hutan

19 Nov 2024, 10:20 WIBEditor : Gesha

Kementerian ATR/BPN siap memproses legalitas tanah perkebunan sawit, asalkan lahan tersebut sudah dipastikan tidak masuk dalam kawasan hutan, sebagai langkah untuk memberikan kepastian hukum. | Sumber Foto:Istimewa

TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta -- Kementerian ATR/BPN siap memproses legalitas tanah perkebunan sawit, asalkan lahan tersebut sudah dipastikan tidak masuk dalam kawasan hutan, sebagai langkah untuk memberikan kepastian hukum.

Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Ossy Dermawan, mengungkapkan bahwa pihaknya akan memproses legalitas tanah perkebunan sawit selama lahan tersebut tidak termasuk dalam kawasan hutan.

Untuk memastikan hal ini, Kementerian ATR/BPN akan berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

"Kami akan bekerja sama sepenuhnya dengan Kementerian Kehutanan untuk memastikan, jika secara fakta dan di lapangan, lahan tersebut sudah bukan bagian dari kawasan hutan," jelas Ossy.

Lebih lanjut, Ossy menyebutkan bahwa Kementerian ATR juga meminta masukan dari Ombudsman terkait proses legalitas lahan perkebunan sawit.

"Jika lahan tersebut sudah dikeluarkan dari kawasan hutan, kami akan segera memproses legalitasnya, terutama jika ini terkait dengan perkebunan sawit rakyat," tambahnya.

Di sisi lain, Kementerian ATR/BPN tidak dapat melakukan langkah apapun jika seluruh lahan perkebunan sawit masih terletak dalam kawasan hutan.

Ossy Dermawan menekankan pentingnya kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk pemetaan lahan, guna menentukan batas kawasan hutan dan non-hutan untuk mempermudah proses legalisasi tanah perkebunan sawit.

"Kerja sama ini sangat penting untuk memastikan, baik berdasarkan data maupun fakta di lapangan, mana yang termasuk kawasan hutan dan mana yang sudah menjadi non-hutan," tambah Ossy.

Di sisi lain, Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengungkapkan adanya potensi malaadministrasi dalam industri kelapa sawit, terutama dalam perizinan.

Hal ini berisiko merugikan perkebunan sawit rakyat hingga mencapai Rp 111,6 triliun per tahun. Menurut Yeka, lemahnya pendataan dan perizinan, khususnya terkait dengan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan Sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), mengakibatkan penurunan produktivitas lahan.

Akibatnya, Tandan Buah Segar (TBS) yang dihasilkan tidak mencapai tingkat optimal.

Reporter : Nattasya
BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018