Karjo Matajat, agronom dari Kappi
TABLOIDSINARTANI.COM, JAKARTA --- Di tengah gempuran tantangan pertanian modern, sebuah gerakan edukatif tumbuh dari lahan-lahan kopi Indonesia yang luas, namun belum tergarap maksimal.
Gerakan ini datang dari Kappi sebuah yayasan pendidikan dan pengembangan perkopian yang seluruh kegiatannya mendapat dukungan penuh dari salah satu perusahaan kopi dalam negeri, Kapal Api.
Karjo Matajat, agronom dari Kappi mengatkaan Kappi hadir untuk membantu meningkatkan produktifitas di wilayah penghasil kopi, terutama di Sumatera bagian selatan seperti Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu. Saat ini kawasan tersebut menyumbang sekitar 70% kopi robusta nasional, sehingga menjadikannya strategis dalam peta perkopian Indonesia.
Meski menjadi lumbung kopi nasional, sayangnya produktivitas perkebunan kopi milik rakyat secara umum masih tergolong rendah. Kebun kopi kita masih sangat tradisional, kurang perawatan, dan belum dikelola dengan pendekatan modern, ungkap Karjo saat webinar Jambore Penyuluh Pertanian se Jawa Barat yang akan diselenggrakan di Kabupaten, Kuningan, Jawa Barat pada 28-30 April 2025.
Edukasi dan Motivasi Petani
Menurut Karjo, misi utama Kappi adalah meningkatkan produktivitas kopi petani melalui edukasi dan motivasi. Karena itu, petani diajak untuk memahami cara mengelola kebun secara tepat, efisien, dan berkelanjutan. Salah satu fokus utama adalah optimalisasi hasil kebun, dengan target produktivitas minimal 2 ton/ha.
Saat ini, Karjo melihat, banyak petani belum memahami pentingnya pemangkasan pohon kopi setelah panen. Padahal pemangkasan pascapanen atau PLP (Pangkas Lepas Panen), harus dilakukan dengan prinsip tepat waktu, tepat sasaran, dan sesuai target. ”Kesalahan kecil saja dalam memangkas bisa membuat pohon stres, mengganggu pertumbuhan cabang baru, bahkan mengurangi hasil panen,” ujarnya.
Selain memangkas, di Kappi petani juga diajarkan untuk membuang ranting-ranting tua yang tidak lagi produktif. Fokus kemudian beralih pada merawat cabang-cabang potensial, terutama tunas raja yakni cabang yang memiliki struktur kuat dan bisa menghasilkan tunas produktif baru. Setiap tahun, minimal harus ada 5 sampai 7 tunas raja yang disiapkan. Ini yang akan menentukan hasil panen tahun berikutnya, tambah Karjo yang telah malang melintang di dunia perkopian sejak tahun 1985.
Menurutnya, masalah lain yang kerap dihadapi petani adalah pemberian pupuk yang asal-asalan. Sebagai lembaga edukasi perkopian, Kappi menekankan pentingnya prinsip 3T dalam pemupukan yakni tepat jenis, tepat dosis, dan tepat waktu. Setiap fase pertumbuhan membutuhkan jenis pupuk yang berbeda. Dosis juga harus disesuaikan dengan usia tanaman dan kondisi tanah. Dan yang paling penting: waktunya harus pas, tuturnya.
Rata-rata kebutuhan pupuk ideal adalah sekitar 200300 gram per pohon per tahun, tapi ini pun bisa disesuaikan dengan daya beli petani. Di sinilah edukasi menjadi penting, agar petani bisa memahami bahwa pupuk bukan beban, tapi investasi hasil panen.
Menariknya, Kappi juga melihat potensi besar dari kebun-kebun tua. Banyak pohon kopi yang sudah berumur 3550 tahun masih memiliki batang utama yang sehat. Pohon tua justru bisa menghasilkan lebih banyak karena cabangnya besar dan kuat. Asal dirawat dengan benar, satu pohon bisa menghasilkan hingga 3 kg green bean, ungkap Karjo.
Namun, banyak dari pohon ini rusak karena kesalahan perawatan, seperti penggunaan pestisida dan herbisida yang berlebihan. Untuk itu, Kappi terus mendorong pendekatan alami dan ramah lingkungan dalam perawatan kebun.
Mengubah Mindset Petani
Kappi tak hanya bicara soal panen, tapi juga perubahan mindset. Mereka mendorong petani untuk mulai melihat kebun kopi sebagai bagian dari agribisnis modern. Salah satu langkah konkret adalah merancang ulang tata tanam, yakni dengan jarak antar pohon 1 meter dan jarak antar baris 2,5 meter. ”Dengan pola ini, satu hektar bisa ditanami hingga 4 ribu pohon,” katanya.
Lebih dari itu, lanjut Karjo, sistem ini memungkinkan petani melakukan multicropping, yaitu menanam tanaman sela seperti jagung, kedelai, atau padi gogo di antara kopi, terutama saat kopi belum masuk masa panen. Hasilnya, petani tetap memiliki penghasilan rutin dari tanaman tambahan.
Di tengah fluktuasi harga pasar kopi, Karjo mengingatkan bahwa petani tidak bisa mengatur harga pasar, tapi mereka bisa mengontrol hasil produksi. Saat ini, harga green bean di tingkat petani berada dikisaran Rp 70 – 73 ribu/kg. Dengan produktivitas 2 ton/ha, potensi penghasilan petani bisa mencapai Rp140 juta/tahun.
Di Lampung, banyak petani binaan Kappi yang sudah mencapai 2,5 bahkan 3 ton/ha. Ini bukan mimpi, ini nyata, ujarnya. Dengan luas perkebunan kopi terbesar di dunia yang mencapai 1,2 juta ha, Indonesia mempunyai potensi besar sebagai pusat kopi dunia, bukan hanya dari segi luas lahan, tapi juga kualitas dan produktivitas.
Kepada penyuluh pertanian (PPL) di seluruh Indonesia, Karjo berharap bisa menyamakan persepsi dan bergerak bersama. Yang kita butuhkan sekarang adalah edukasi merata, inovasi lokal, dan adaptasi terhadap musim, katanya.
Dalam kondisi musim kemarau misalnya, petani harus menyiapkan sistem irigasi sederhana atau pemupukan penunjang. Begitu juga saat musim hujan datang, perlu strategi pemangkasan dan perlindungan tanaman yang tepat.
Lewat Kappi, Karjo dan timnya tak hanya ingin meningkatkan produksi, tetapi juga mengangkat martabat petani kopi Indonesia.
Dengan edukasi yang tepat, teknologi sederhana, dan kemauan kuat, para petani bisa mengubah hidup mereka, dari sekadar bertahan, menjadi sejahtera. Petani harus bangga kalau kebunnya produktif.
Itu tanda mereka mengelola lahan dengan cinta dan ilmu, kata Karjo yang juga sempat bekerja di PT. Sulotco Jaya Abadi (Kapal Api Group).