ISPO terus berkembang lewat Perpres No. 16/2025, namun pengakuan global belum maksimal. GAPKI menyatakan, tanpa pengakuan internasional, posisi sawit Indonesia di pasar dunia masih terhambat.
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta -- ISPO terus berkembang lewat Perpres No. 16/2025, namun pengakuan global belum maksimal. GAPKI menyatakan, tanpa pengakuan internasional, posisi sawit Indonesia di pasar dunia masih terhambat.
Industri sawit Indonesia tengah menghadapi babak baru. Dengan hadirnya Perpres No. 16 Tahun 2025, sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) resmi meluas cakupannya, dari sektor hulu hingga hilir, bahkan termasuk bioenergi.
Meski ISPO sudah naik level, pengakuan internasional terhadap sertifikasi ini belum sepenuhnya diakui di pasar global.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sebagai salah satu pemangku kepentingan utama menilai hal ini sebagai tantangan serius.
Dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertajuk “Perpres No 16 Tahun 2025 untuk Industri Sawit Berkelanjutan” di Jakarta, Rabu (04/06), Kepala Bidang Perkebunan GAPKI, Aziz Hidayat, menegaskan pentingnya pengembangan sistem sertifikasi rantai pasok atau Supply Chain Certification System (SCCS)-ISPO.
“Gapki berkomitmen penuh terhadap pelaksanaan ISPO yang bersifat mandatory. Tapi agar sertifikasi ini diakui global, perlu segera dibentuk SCCS-ISPO, seperti yang telah dimiliki RSPO dan MSPO,” ujar Aziz.
SCCS-ISPO dinilai mampu memperkuat posisi sawit Indonesia di pasar dunia yang kian ketat terhadap aspek keberlanjutan.
Data terbaru Kementerian Pertanian mencatat bahwa sampai Februari 2025, sudah ada 1.157 pelaku usaha sawit yang mendapatkan sertifikat ISPO dengan lahan seluas 6,2 juta hektare.
Sayangnya, mayoritas atau sekitar 84 persen adalah perusahaan swasta, sementara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya 9 persen, dan petani rakyat yang memiliki sertifikasi hanya 7 persen.
Di sinilah tantangan terbesar. Tingkat adopsi ISPO di kalangan petani sawit rakyat sangat rendah.
Edy Dwi Hartono dari Solidaridad Indonesia mengungkapkan bahwa dari sekitar 2,5 juta petani rakyat, hanya sekitar 1 persen yang telah tersertifikasi.
“Baru sekitar 220 petani dari 24.687 yang kami dampingi sejak 2019 hingga 2024 berhasil mendapat sertifikat. Kita harus bekerja lebih keras agar petani tidak tersingkir dari rantai pasok global,” jelasnya.
Luas lahan yang dikelola petani rakyat mencapai sekitar 6,9 juta hektare.
Jika sektor ini gagal tersertifikasi, potensi ekspor dari petani rakyat bisa terancam diblokir oleh pasar internasional yang makin menuntut traceability dan sertifikasi berkelanjutan.
Dengan semakin ketatnya regulasi dan tuntutan pasar global, keberadaan SCCS-ISPO dianggap menjadi solusi strategis untuk menyatukan standar sertifikasi rantai pasok, sehingga ISPO dapat benar-benar diakui dan diterima secara luas di seluruh dunia.
Ini bukan hanya soal menjaga reputasi industri sawit nasional, tapi juga melindungi keberlangsungan petani rakyat sebagai tulang punggung produksi minyak sawit.
Perpres No. 16/2025 membuka peluang besar, namun pengakuan global serta penguatan sistem rantai pasok harus jadi prioritas berikutnya agar Indonesia tidak kalah dalam persaingan minyak sawit berkelanjutan di pasar dunia.